Jumat, 18 November 2011

Pelaksanaan Otonomi Dalam Konteks Negara Kesatuan Indonesia

1. Pendahuluan
Otonomi daerah sebagaimana dituangkan dalam UU No. 22 tahun 1999 yang kemudian di revisi dengan UU No. 32 tahun 2004, sejak saat itu wacana otonomi daerah mengemuka dengan berbagai dilemma baru yang perlu pula memperoleh solusi baru, yang sejalan dengan perkembangan politik dalam era reformasi serta sekaligus sebagai pelaksanan terhadap UUD 45 yang didalamnya disebutkan bahwa sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah memberikan keleluasaan kepada daerah untuk menyelenggarakan otonomi daerah. Wacana tersebut memperoleh sambutan positif dari semua pihak, dengan segenap harapan bahwa melalui otonomi daerah akan dapat merangsang terhadap adanya upaya untuk menghilangkan praktek-praktek sentralistik yang pada satu sisi dianggap kurang menguntungkan bagi daerah dan penduduk lokal.

Menurut Sarundajang (1998), otonomi (autonomy) berasal dari bahasa Yunani, auto berarti sendiri dan namous berarti hukum atau peraturan. Menurut Encyclopedia of Social Science, otonomi dalam pengertian orisinal adalah the legal self sufficientcy of social body and is actual independence. Sedangkan menurut Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, otonomi daerah diartikan sebagai kewenangan daerah otonomi untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Berdasarkan pada pengertian tersebut di atas, maka terdapat dua pandangan yang menjiwai makna otonomi, yaitu: pertama, legal self sufficiency dan yang kedua, adalah actual independence. Berdasarkan pada pemahaman otonomi daerah tersebut, maka pada hakekatnya otonomi daerah bagi pembangunan regional adalah hak mengurus rumah tangga sendiri bagi suatu daerah otonom. Hak tersebut bersumber dari wewenang pangkal dan urusan-urusan pemerintah (pusat) yang diserahkan kepada daerah, yang dalam penyelenggaraannya lebih memberikan tekanan pada prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan, serta memperhatikan potensi dan keragaman daerah.

Satu hal lagi yang perlu mendapatkan perhatian dalam rangka penyerahan kewenangan tersebut, yaitu bahwa dalam kebebasan menjalankan hak mengurus dan mengatur rumah tangga sendiri yang mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiscal, serta agama, dan daerah tidak dapat menjalankan hak dan wewenang otonomi itu di luar batas-batas wilayah kewenangannya. Oleh karena itu, untuk mengatur hal-hal yang demikian dilakukan melalui penyusunan kebijakan pembangunan regional yang pada hakekatnya ditujukan untuk memenuhi kepentingan daerah secara keseluruhan, baik pada daerah hilir maupun hulu.
Disamping persoalan batas internal administrasi dengan pelbagai factor internal yang berpengaruh pada mekanisme pelaksanaan pembangunan di wilayah yang bersangkutan maka otonomi daerah juga harus memperhatikan faktor eksternalitas. Faktor eksternalitas tersebut hendaknya dijadikan perhatian yang serius dalam merancang/mendesain otonomi daerah dalam konteks pembangunan regional. Mekanisme intensif antara daerah hulu dan hilir harus terbangun secara adil, merata dan berkelanjutan, yang pada akhirnya otonomi daerah yang didalam pelaksanaannya tidak memperhatikan karakter eksternal daerah hulu dan dalam hubungannya dengan daerah hilir serta hanya berorientasi pada kepentingan sesaat, maka pada gilirannya justru akan menimbulkan kemunduran dan konflik di segala bidang.
Dalam rangka pelaksanaan otonomi tersebut,dinyatakan bahwa kewenangan pemerintahan pusat diserahkan kepada Daerah dalam rangka desentralisasi harus disertai dengan penyerahan dan pengalihan pembiayaan, sarana dan prasarana serta sumberdaya manusia sesuai dengan kewenangan yang diserahkan tersebut. Tidak dapat dipungkiri bahwa dalam rangka menjalankan otonomi sepenuhnya tersebut didalam implementasinya diperlukan dana yang memadai. Oleh karena itu, melalui UU No. 25 tahun 1999 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah ( direvisi dengan UU.No.33 tahun 2004 ), maka kemampuan daerah untuk memperoleh dana dapat lebih ditingkatkan. Berkaitan dengan peningkatan kemampuan pendanaan di daerah tersebut ada beberapa hal yang harus diperhatikan, antara lain harus memperhatikan asas keadilan dan rasa persatuan sebagai bangsa.
Dalam rangka pelaksanaan azas desentralisasi dibentuk dan disusun daerah propinsi, daerah kabupaten dan daerah kota yang berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dan masing-masing daerah tersebut berdiri sendiri dan tidak mempunyai hubungan tata jenjang (secara hierarki) antara satudegan lainnya. Berdasarkan peda pernyataan tersebut maka akan muncul rigiditas dan kekakuan antar daerah. Oleh sebab itu, diperlukan sebuah solusi terhadap permasalahan tersebut melalui pengembangan paradigma pembangunan berkelanjutan dengan pendekatan kewilayahan (Regional Approach).
Bisa dipahami bahwa implementasi otonomi daerah di Indonesia berkaitan erat dengan kewujudan mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).  Tidak ada sebarang keinginan yang bisa diminta daerah kepada pusat khususnya dalam menyelenggarakan fungsi pemerintahan daerah, kecuali dalam kerangka memperkuat kedudukan NKRI di seluruh wilayah Indonesia. Bagi pemerintah pusat bukanlah hal yang mudah untuk mempertahankan terotorialnya di tengah menguatnya kekuatan supranasional, integrasi sistem ekonomi internasional, dan globalisasi.  Ini bisa jadi menjadi tantangan serius bagi kewujudan negara bangsa di dunia, termasuk Indonesia (King & Kendall 2004:5).  Pemerintah pusat menyadari betul upaya ini harus didukung oleh kekuatan politik termasuk lembaga-lembaga negara (state apparatus) seperti birokrasi dan militer.  Maknanya, kedaulatan teritori NKRI mesti mampu dikendalikan pusat dengan otoritas penuh yang dapat menjangkau seluruh daerah di Indonesia.  Melalui penguasaan struktur kekuasaan politik dan finansial pusat menjadi kuat atas daerah.  Inilah satu antara langkah yang dilakukan Pemerintahan Orde Baru bagi menguatkan kekuasaannya pada mula kepimpinan Presiden Soeharto.
Melalui legitimasi dan otoritas politik penuh yang dimilikinya, tak jarang pemerintah pusat mengartikan gejala-gejala politik yang muncul dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dengan tafsirannya sendiri.  Konsekuensinya jelas kepada kebijakan dan tindakan yang mesti dilakukannya.  Adakalanya pusat menyikapi kondisi politik yang berlaku dalam kehidupan masyarakat secara otoritarian, karena dianggap dapat membahayakan kelangsungan NKRI. Misalnya, menyangkut kewujudan nasionalisme yang mesti ditanamkan dalam jiwa dan semangat Rakyat Indonesia yang multi etnis, multi agama, dan beragam kebudayaan sebagai bagian dari strategi politiknya dalam mengendalikan kemajemukan rakyat Indonesia. 
Nasionalisme juga diciptakan untuk mewujudkan pertumbuhan ekonomi, stabilitas politik, dan pemerataan bagi kesejahteraan bersama.  Kecenderungan ini yang menjadi bagian kebijakan politik Pemerintah Orde Baru yang dikenal dengan trilogi pembangunan (Lihat Liddle 1999: 52).  Nasionalisme Indonesia dibungkus ke dalam ideologi Pancasila dan semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Atas nama “kebersamaan dengan Indonesia” inilah, maka pusat berupaya memahami apa yang diperlukan dan yang baik bagi Rakyat Indonesia.  Gantinya rakyat dituntut pula untuk berkhidmat pada pemerintah pusat, termasuk tuntutan melaksanakan semangat kebersamaan dalam ke Indonesian yang lazim disebut persatuan Indonesia (McVey 2003:21). Pemerintah pusat atas nama Negara Indonesia berterusan menanamkan semangat kebersamaan ini demi keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang hingga saat ini terus mencari bentuk yang sesuai dengan keberagaman bangsa Indonesia.
Negara kesatuan (unitary state) adalah merupakan agenda utama dalam proses pembentukan Negara Indonesia yang ada di pusat.  Ini terbukti bahwa dalam amandemen konstitusi Republik Indonesia (UUD 1945) yang bisa diwujudkan setelah reformasi politik tahun 1998.  Amandemen terhadap UUD 1945 ini melarang mengubah bentuk negara kesatuan ke dalam bentuk. Asumsi elitee politik di Jakarta adalah bahwa negara kesatuan adalah bentuk akhir dan yang paling sesuai dengan realitas rakyat Indonesia yang pluralistik. Oleh kerana itu, kenyataan ini harus disadari oleh semua elite yang berkuasa termasuk rakyatnya bahwa bentuk NKRI adalah satu cara yang sesuai dan hal yang “final” dalam proses mewujudkan “Indonesia.”
Dalam realitasnya, elite politik di Jakarta bertindak sebagai negara dan menafsirkan kepentingan-kepentingan negara.  Namun malangnya, tindakan dan tafsiran kepentingan atas nama negara ini seringkali berisikan pula tindakan dan kepentingan elite dan kelompoknya terutama untuk mengekalkan kekuasaan politik yang ada di tangan mereka.  Kecenderungan ini menimbulkan permasalahan apakah memang “Negara (Indonesia)” mempunyai kepentingan terhadap keharusan wujud negara kesatuan dan tidak bisa dalam bentuk lain?  Apakah wujud dalam bentuk lain seperti federalisme, yang apabila dikehendaki rakyat di daerah mesti ditolak? Apakah “negara” mesti berkuasa meniadakan keinginan tersebut? Bagaimana pula negara harus bersikap dengan demokrasi yang muncul di tingkat lokal dimana menghendaki terciptanya kesejahteraan, keadilan dan pengakuan terhadap hak-hak politik mereka?  Bagi menjawab perkara di atas, maka tulisan ini akan coba membincangkan tentang hubungan negara dan rakyat lebih mendalam terkait dengan pelaksanaan demokrasi di tingkat lokal.




2.Permasalahan
            Arti penting pelaksanaan otonomi daerah dalam konteks negara kesatuan Republik Indonesia ?
OTONOMI DAERAH UNTUK KEPENTINGAN RAKYAT
Dewasa ini, Otonomi Daerah kita laksanakan dalam situasi politik, ekonomi, sosial dan moral yang rusak, sebagai akibat dari sistem politik rezim militer Orde Baru. Untuk memperbaiki banyak kerusakan-kerusakan berat di berbagai bidang itu saja diperlukan waktu yang panjang. Bahkan di antara berbagai pakar Indonesia maupun luar negeri ada yang sudah pesimis untuk bisa memperbaikinya dalam waktu yang singkat. Ada yang memperhitungkan bahwa kerusakan-kerusakan itu baru bisa diperbaiki dalam tempo satu generasi, atau 30 tahun. Kerusakan yang paling berat adalah di bidang moral.
Sekarang ini, kesulitan untuk memperbaiki kerusakan-kerusakan di berbagai bidang itu ditambah lagi dengan persoalan pelaksanaan Otonomi Daerah. Sudah muncul dewasa ini berbagai suara yang mencerminkan kekuatiran bahwa Otonomi Daerah justru akan merupakan lahan subur bagi tumbuhnya separatisme atau permusuhan antar-suku dan antar-agama. Dikuatirkan juga lahirnya di berbagai daerah beraneka-ragam "raja kecil", atau “Suharto kecil”, yang bisa merajalela di daerah-daerah dengan dukungan golongan terbesar. Memang, tidak bisa diingkari adanya kemungkinan akan berkuasanya berbagai mafia politik, mafia ekonomi, mafia kejahatan di skala daerah, kalau suara masyarakat daerah bisa dibungkam. Aliansi antara kekuatan-kekuatan anti-rakyat yang berskala daerah akan bisa mematikan demokrasi, dan mencekek partisipasi rakyat daerah dalam pengelelolaan pemerintahan. Kekuatiran-kekuatiran itu semuanya ada dasarnya, dan wajar. Sebab, di masa yang lalu - dan sekarang juga! – sudah terjadi hal-hal itu semua, dalam berbagai bentuk dan berbagai derajat.
Tetapi, Otonomi Daerah yang bisa dilaksanakan dengan baik, justru akan menghilangkan atau mengurangi berbagai gejala yang negatif itu. Sebab, inti tujuan Otonomi Daerah adalah desentralisasi demokrasi, atau desentralisasi kekuasaan pemerintahan yang harus didasarkan atas prinsip-prinsip demokratis. Otonomi Daerah – yang sungguh-sungguh! – bukanlah untuk memindahkan aspek-aspek negatif yang selama ini digembol oleh Pemerintahan Pusat (Jakarta). Kalau bisa dijalankan dengan baik, Otonomi Daerah justru akan bisa mencegah (atau setidak-tidaknya : mengurangi) segala praktek atau politik yang negatif Pemerintah Pusat.
Perlulah kiranya semua fihak terus-menerus diingatkan bahwa Otonomi Daerah adalah pada dasarnya untuk kepentingan seluruh rakyat, dan bukannya hanya untuk kepentingan suatu golongan agama, suku, atau aliran politik. Dalam rangka inilah maka penting sekali untuk melaksanakan Otonomi Daerah dengan selalu dijiwai oleh semangat yang terkandung dalam lambang negara kita : “Bhinneka Tunggal Ika”.
3.Pembahasan
A. OTONOMI DAERAH
1.Hakikat Otonomi Daerah
Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk republik yang dalam pelaksanaan pemerintahannya dibagi atas daerah-daerah propinsi dan daerah propinsi dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap propinsi, kabupatan dan kota mempunyai pemerintahan daerah untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Pemerintah daerah berhak menetapkan Peraturan Daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi daerah dan tugas pembantuan. Pembahasan materi Hakikat Otonomi Daerah menggunakan sejumlah kata kunci yang dapat mengantarkan kalian untuk lebih mengenal berbagai istilah dalam pelaksanaan Otonomi Daerah. Agar istilah-istilah tersebut dapat kalian kuasai dengan baik, kalian dapat mempelajarinya melalui Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Republik Indonesia nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah.Pemerintah adalah perangkat Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terdiri dari Presiden beserta para menteri. Pemerintah Daerah adalah Kepala Daerah beserta perangkat daerah otonom yang lain sebagai badan eksekutif daerah. DPRD adalah Badan legislatif daerah.
Desentralisasi adalah penyerahan wewenangpemerintah oleh Pemerintah kepada Daerah Otonom dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat kepada Gubernur sebagai Wakil Pemerintah dan/atau perangkat pusat di daerah. Tugas Pembantuan adalah penugasan dari Pemerintah kepada daerah dan desa serta dari daerah ke desa untuk melaksanakan tugas tertentu yang disertai pembiayaan, sarana, prasarana serta sumber daya manusia dengan kewajiban melaporkan pelaksanaannya dan mempertanggung jawabkannya kepada yang menugaskan. Otonomi daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Daerah Otonom adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas daerah tertentu berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Wilayah Administrasi adalah wilayah kerja Gubernur selaku wakil pemerintah. Instansi Vertikal adalah perangkat departemen dan/atau lembaga pemerintah non departemen di daerah.
Pejabat yang berwenang adalah pejabat pemerintah di tingkat pusat dan/atau pejabat pemerintah di daerah propinsi yang berwenang membina dan mengawasi penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Kecamatan adalah wilayah kerja Camat sebagai perangkat daerah kabupaten dan daerah kota. Kelurahan adalah wilayah kerja lurah sebagai perangkat daerah kabupaten dan/atau daerah kota di bawah kecamatan. Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal usul dan adat istiadat setempat yang diakui dalam sistem Pemerintahan Nasional dan berada di daerah kabupaten. Desentralisasi adalah transfer (perpindahan) kewenangan dan tanggungjawab fungsi-fungsi publik. Transfer ini dilakukan dari pemerintah pusat ke pihak lain, baik kepada daerah bawahan, organisasi pemerintah yang semi bebas ataupun kepada sektor swasta. Selanjutnya desentralisasi dibagi menjadi empat tipe, yaitu :
1.   Desentralisasi politik, yang bertujuan menyalurkan semangat demokrasi secara positif di masyarakat
2.   Desentralisasi administrasi, yang memiliki tiga bentuk utama, yaitu : dekonsentrasi, delegasi dan devolusi, bertujuan agar penyelenggaraan pemerintahan dapat berjalan secara efektif dan efi sien
3.   Desentralisasi fi skal, bertujuan memberikan kesempatan kepada daerah untuk menggali berbagai sumber dana
4.   Desentralisasi ekonomi atau pasar, bertujuan untuk lebih memberikan tanggungjawab yang berkaitan sektor publik ke sektor privat.
Pelaksanaan otonomi daerah, juga sebagai penerapan (implementasi) tuntutan globalisasi yang sudah seharusnya lebih memberdayakan daerah dengan cara diberikan kewenangan yang lebih luas, lebih nyata dan bertanggung jawab. Terutama dalam mengatur, memanfaatkan dan menggali sumber-sumber potensi yang ada di daerahnya masing-masing.
Desentralisasi merupakan simbol atau tanda adanya kepercayaan pemerintah pusat kepada daerah. yang akan mengembalikan harga diri pemerintah dan masyarakat daerah. Diberlakukannya UU No. 32 dan UU No. 33 tahun 2004, kewenangan Pemerintah didesentralisasikan ke daerah, ini mengandung makna, pemerintah pusat tidak lagi mengurus kepentingan rumah tangga daerahdaerah. Kewenangan mengurus, dan mengatur rumah tangga daerah diserahkan kepada masyarakat di daerah. Pemerintah pusat hanya berperan sebagai supervisor, pemantau, pengawas dan penilai. Visi otonomi daerah dapat dirumuskan dalam tiga ruang lingkup utama, yaitu : Politik, Ekonomi serta Sosial dan Budaya. Di bidang politik, pelaksanaan otonomi harus dipahami sebagai proses untuk membuka ruang bagi lahirnya kepala pemerintahan daerah yang dipilih secara demokratis, memungkinkan berlangsungnya penyelenggaraan pemerintahan yang responsif terhadap kepentingan masyarakat luas, dan memelihara suatu mekanisme pengambilan keputusan yang taat pada asas pertanggungjawaban publik. Gejala yang muncul dewasa ini partisipasi masyarkat begitu besar dalam pemilihan Kepala Daerah, baik propinsi, kabupaten maupun kota. Hal ini bisa dibuktikan dari membanjirnya calon-calon Kepala Daerah dalam setiap pemilihan Kepala Daerah baik di tingkat propinsi maupun kabupaten atau kota. Di bidang ekonomi, otonomi daerah di satu pihak harus menjamin lancarnya pelaksanaan kebijakan ekonomi nasional di daerah, dan di pihak lain terbukanya peluang bagi pemerintah daerah mengembangkan kebijakan regional dan lokal untuk mengoptimalkan pendayagunaan potensi ekonomi di daerahnya. Dalam konteks ini, otonomi daerah akan memungkinkan lahirnya berbagai prakarsa pemerintah daerah untuk menawarkan fasilitas investasi, memudahkan proses perizinan usaha, dan membangun berbagai infrastruktur yang menunjang perputaran ekonomi di daerahnya. Dengan demikian otonomi daerah akan membawa masyarakat ke tingkat kesejahteraan yang lebih tinggi dari waktu ke waktu.
Di bidang sosial budaya, otonomi daerah harus dikelola sebaik mungkin demi menciptakan harmoni sosial, dan pada saat yang sama, juga memelihara nilai-nilai lokal yang dipandang kondusif terhadap kemampuan masyarakat dalam merespon dinamika kehidupan di sekitarnya. Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan, bahwa konsep otonomi daerah mengandung makna :
1.   Penyerahan sebanyak mungkin kewenangan pemerintahan dalam hubungan domestik kepada daerah, kecuali untuk bidang keuangan dan moneter, politik luar negeri, peradilan, pertahanan, keagamaan, serta beberapa kebijakan pemerintah pusat yang bersifatstrategis nasional.
2.   Penguatan peran DPRD dalam pemilihan dan penetapan kepala daerah; menilai keberhasilan atau kegagalan kepemimpinan kepala daerah.
3.   Pembangunan tradisi politik yang lebih sesuai dengan kultur (budaya) setempat demi menjamin tampilnya kepemimpinan pemerintahan yang berkualifi kasi tinggi dengan tingkat akseptabilitas (kepercayaan) yang tinggi.
4.   Peningkatan efektifi tas fungsi-fungsi pelayanan eksekutif melalui pembenahan organisasi dan institusi yang dimiliki agar lebih sesuai dengan ruang lingkup kewenangan yang telah didesentralisasikan.
5.   Peningkatan efeisiensi administrasi keuangan daerah serta pengaturan yang lebih jelas atas sumber-sumber pendapatan negara.
6.   Perwujudan desentralisasi fi skal melalui pembesaran alokasi subsidi pusat yang bersifat block grant.
7.   Pembinaan dan pemberdayaan lembaga-lembaga dan nilai-nilai lokal yang bersifat kondusif terhadap upaya memelihara harmoni sosial.
2. Tujuan Otonomi Daerah
Tujuan utama dikeluarkannya kebijakan otonomi daerah antara lain adalah membebaskan pemerintah pusat dari beban-beban yang tidak perlu dalam menangani urusan daerah. Dengan demikian pusat berkesempatan mempelajari, memahami, merespon berbagai kecenderungan global dan mengambil manfaat daripadanya. Pada saat yang sama pemerintah pusat diharapkan lebih mampu berkonsentrasi pada perumusan kebijakan makro (luas atau yang bersifat umum dan mendasar) nasional yang bersifat strategis. Di lain pihak, dengan desentralisasi daerah akan mengalami proses pemberdayaan yang optimal. Kemampuan prakarsa dan kreativitas pemerintah daerah akan terpacu, sehingga kemampuannya dalam mengatasi berbagai masalah yang terjadi di daerah akan semakin kuat.
Adapun tujuan pemberian otonomi kepada daerah adalah sebagai berikut:
1.   Peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik.
2.   Pengembangan kehidupan demokrasi.
3.   Keadilan.
4.   Pemerataan.
5.   Pemeliharaan hubungan yang serasi antara Pusat dan Daerah serta antar daerah dalam rangka keutuhan NKRI.
6.   Mendorong untuk memberdayakan masyarakat.
7.   Menumbuhkan prakarsa dan kreativitas, meningkatkan peran serta masyarakat, mengembangkan peran dan fungsi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
3. Asas-asas dan Prinsip-Prinsip Pemerintahan Daerah
Bacalah pasal18 UUD 1945. Dari pasal itu dapat kita sarikan sebagai berikut :
1.   Adanya pembagian daerah otonom yang bersifat berjenjang, Provinsi dan Kabupaten/ Kota;
2.   Daerah otonom mengatur dan mengurus urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan;
3.   Secara eksplisit tidak disinggung mengenai asas dekonsentrasi;
4.   Pemerintah daerah otonom memiliki DPRD yang anggota-anggotanya dipilih secara demokratis;
5.   Kepala daerah dipilih secara demokratis;
6.   Pemerintah daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undangundang ditentukan sebagai urusan Pemerintah.
Bagian ini kita akan membicarakan tentang asas-asas yang digunakan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Namun sebelum itu, ada baiknya kalian pahami dulu beberapa istilah yang berkaitan dengan sistem pemerintahan daerah, yaitu antara lain pemerintahan daerah, pemerintah daerah, otonomi daerah, dan daerah otonom.
Pemerintahan daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pemerintah daerah adalah Gubernur (untuk provinsi), Bupati (untuk kabupaten), Walikota (untuk Kota) dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.
Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Daerah otonom adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Setelah kalian mengetahui arti beberapa istilah di atas, mari kita bahas asas-asas apa yang digunakan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah? Dalam pasal 18 ayat (2) UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945 ditegaskan bahwa “pemerintah daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan”. Dengan demikian terdapat dua asas yang digunakan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah yaitu asas otonomi dan tugas pembantuan. Asas otonomi dalam ketentuan tersebut memiliki makna bahwa pelaksanaan urusan pemerintahan oleh daerah dapat diselenggarakan secara langsung oleh pemerintahan daerah itu sendiri. Sedangkan asas tugas pembantuan dimaksudkan bahwa pelaksanaan urusan pemerintahan tersebut dapat dilaksanakan melalui penugasan oleh pemerintah provinsi ke pemerintah kabupaten/kota dan desa atau penugasan dari pemerintah kabupaten/kota ke desa (Penjelasan UU Republik Indonesia No.32 Tahun 2004).
Apa yang dimaksud desentralisasi?
Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah (Pusat) kepada Daerah Otonomi untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia (UU No.32 Tahun 2004). Perlu kalian ingat, bahwa sekalipun daerah diberi keleluasaan untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahannya sendiri, tetapi tetap berada dalam bingkai dan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Artinya, pemerintah daerah berkewajiban untuk patuh dan menghormati kewenangan yang dimiliki Pemerintah Pusat. Asas yang kedua adalah tugas pembantuan yaitu penugasan dari Pemerintah (Pusat) kepada daerah dan/atau desa, dan dari pemerintah provinsi kepada kabupaten /kota dan/atau desa serta dari pemerintah kabupaten/kota kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu. Jadi urusan pemerintahan dalam tugas pembantuan bukan merupakan atas inisiatif dan prakarsa sendiri tetapi merupakan penugasan dari pemerintah yang ada di atasnya. Untuk mewujudkan cita-cita dan tujuan diberikannya otonomi daerah, pemerintahan daerah dituntut lebih kreatif dan inisiatif menggali dan memanfaatkan segenap potensi daerah untuk mencapai kemajuan dan kesejahteraan masyarakat di daerah. Oleh karena itu, dalam UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945 ditegaskan, bahwa pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan (UUD 1945 pasal 18 ayat (6).
Adapun prinsip Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah adalah sebagai berikut :
1.   Digunakannya asas desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan;
2.   Penyelenggaraan asas desntralisasi secara utuh dan bulat yang dilaksanakan di Daerah Kabupaten dan Daerah Kota,
3. Asas tugas pembantuan yang dapat dilaksanakan di Daerah Propinsi, Daerah Kabupaten; Daerah Kota, dan Desa.
Kewenangan otonomi luas adalah keleluasaan daerah untuk menyelenggarakan pemerintahan yang mencakup kewenangan semua bidang pemerintahan, kecuali: kewenangan di bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter, dan fiskal, agama serta kewenangan di bidang lainnya yang akan ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah, termasuk kewenangan yang utuh dalam hal perencanaan, pelaksanaa, pengawasan, pengendalian dan evaluasi.
Otonomi nyata adalah keleluasaan daerah untuk menyelenggarakan kewenangan pemerintahan di bidang tertentu yang secara nyata ada dan diperlukan serta tumbuh, hidup dan berkembang di daerah
Otonomi bertanggungjawab adalah berupa per wujudan pertanggung jawaban sebagai konsekuensi pemberian hak dan kewenangan kepada daerah dalam wujud tugas dan kewajiban yang harus dipikul oleh daerah dalam mencapai tujuan pemberian otonomi
4. Kewenangan Daerah dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah
Dalam susunan pemerintahan di negara kita ada Pemerintah Pusat, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/kota, serta Pemerintahan Desa. Masing-masing pemerintahan tersebut memiliki hubungan yang bersifat hierakhis. Dalam UUD Negara Indonesia tahun 1945 ditegaskan, bahwa hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota, atau antara provinsi dan kabupaten dan kota, diatur dengan undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah [Pasal 18 A (1)]. Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan undang-undang [Pasal 18 A (2)]. Berdasarkan kedua ayat tersebut dapat dijelaskan, bahwa:
1.   Antar susunan pemerintahan memiliki hubungan yang bersifat hierarkhis;
2. Pengaturan hubungan pemerintahan tersebut memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah;
3.   Pengaturan hubungan sebagaimana disebutkan pasal 18A ayat (1) diatur lebih lanjut dalam UU Republik Indonesia No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah;
4.   Antara Pemerintah Pusat dan pemerintahan daerah memiliki hubungan keuangan, pelayanan umum, dan pemanfaatan sumber daya;
5.   Pengaturan hubungan sebagaimana disebutkan pasal 18A ayat (2) diatur lebih lanjut dalam UU Republik Indonesia No.33 Tahun 2004 tentang perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan pemerintahan daerah.
Kewenangan provinsi diatur dalam Pasal 13 UU No. 32 Tahun 2004 dapat diuraikan sebagai berikut :
1. Urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah propinsi meliputi :
a.   perencanaan dan pengendalian pembangunan
b.   perencanaan, pemanfaatan, dan pengwasan tata ruang
c.    penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat
d.   penyediaan sarana dan prasarana umum
e.   penanganan bidang kesehatan
f.    penyelenggaraan pendidikan dan alokasi sumber daya manusia potensial
g.   penanggulangan masalah sosial lintas kabupaten/kota
h.   pelayanan bidang ketenagakerjaan lintas kabupaten/ kota
i.    fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil dan menengah termasuk lintas kabupaten/kota
j.    pengendalian lingkungan hidup
k.   pelayanan pertanahan termasuk lintas kabupaten/ kota
l.    pelayanan kependudukan, dan catatan sipil
m. pelayanan administrasi umum pemerintahan
n.   pelayanan administrasi penanaman modal, termasuk lintas kabupaten/kota
o.   penyelenggraan pelayanan dasar lainnya yang belum dapat dilaksanakan oleh kabupaten/kota, dan
p.   urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan
2. Urusan pemerintahan propinsi yang bersifat pilihan meliputi urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi kekhasan, dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan Kewenangan kabupaten/kota diatur dalam pasal 14 yang dapat diuraikan sebagai berikut :
a.   perencanaan dan pengendalian pembangunan
b.   perencanaan, pemanfaatan, dan pengwasan tata ruang
c.    penyelenggaraan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat
d.   penyediaan sarana dan prasarana umum
e.   penanganan bidang kesehatan
f.    penyelenggaraan pendidikan
g.   penanggulangan masalah sosial
h.   pelayanan bidang ketenagakerjaan
i.    fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil dan menengah
j.    pengendalian lingkungan hidup
k.   pelayanan pertanahan
l.    pelayanan kependudukan, dan catatan sipil
m. pelayanan administrasi umum pemerintahan
n.   pelayanan administrasi penanaman modal,
o.   penyelenggraan pelayanan dasar lainnya dan
p.   urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan
5. Bentuk dan Susunan Pemerintah Daerah
Di daerah dibentuk DPRD sebagai badan Legislatif Daerah dan Pemerintah Daerah sebagai Badan Eksekutif Daerah. Pemerintah Daerah terdiri atas Kepala Daerah beserta perangkat daerah lainnya. DPRD sebagai lembaga perwakilan rakyat di daerah merupakan wahana untuk melaksanakan demokrasi berdasarkan Pancasila. DPRD sebagai Badan Legislatif Daerah berkedudukan sejajar dan menjadi mitra dari Pemerintah Daerah. Pasal 40 UU Republik Indonesia No. 32 Tahun 2004 menyatakan, bahwa DPRD merupakan lembaga perwakilan rakyat daerah dan berkedudukan sebagai unsur penyelenggaraan pemerintahan daerah. Sementara itu pasal 41 menyatakan, bahwa DPRD memiliki fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan. DPRD merupakan lembaga perwakilan rakyat daerah dan berkedudukan sebagai unsur penyelenggaraan pemerintahan daerah. Dalam kedudukannya seperti itu, DPRD memiliki fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan. Fungsi legislasi berkaitan dengan pembentukan peraturan daerah, yang meliputi pembahasan dan memberikan persetujuan terhadap Raperda, serta hak anggota DPRD untuk mengajukan Raperda. Fungsi anggaran berkaitan dengan kewenangannya dalam hal anggaran daerah (APBD). Sedangkan fungsi pengawasan berkaitan dengan kewenangan mengontrol pelaksanaan Perda dan peraturan lainnya serta kebijakan pemerintah daerah. Bagaimana cara pemilihan anggota DPRD? Dalam pasal 18 ayat (3) UUD 1945 ditegaskan, bahwa ”pemerintah daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota memiliki Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang anggotaanggotanya dipilih melalui pemilihan umum”. Pemilihan umum untuk memilih anggota DPRD waktu pelaksanaannya bersamaan dengan pemilihan umum untuk anggota DPR dan DPD.
a. Tugas dan Wewenang DPRD
Adapun tugas dan wewenang DPRD sebagaimana diatur dalam pasal 42 UU Republik Indonesia nomor 32 Tahun 2004 adalah sebagai berikut:
a.   membentuk Peraturan Daerah yang dibahas dengan kepala daerah untuk mendapat persetujuan bersama;
b.   membahas dan menyetujui rancangan Peraturan Daerah tentang APBD bersama dengan Kepala Daerah;
c.    melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan Perda dan peraturan perundang-undangan lainnya, peraturan kepala daerah, APBD, kebijakan pemerintah daerah dalam melaksanakan program pembangunan daerah, dan kerjasama internasional di daerah;
d.   mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian Gubernur/Wakil kepala daerah/wakil kepala daerah kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri bagi DPRD Propinsi dan kepada Menteri Dalam Negeri melalui Gubernur bagi DPR kabupaten/kota;
e.   memilih wakil kepala daerah dalam hal terjadi kekosongan jabatan wakil kepala daerah;
f.    memberikan pendapat dan pertimbangan kepada pemerintah daerah terhadap rencana perjanjian internasional di daerah;
g.   memberikan persetujuan terhadap rencana kerjasama internasional yang dilakukan oleh pemerintah daerah;
h.   menerima laporan keterangan pertanggungjawaban kepala daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah;
i.    membentuk panitia pengawas pemilihan kepala daerah;
j.    melakukan pengawasan dan meminta laporan KPUD dalam penyelenggaraan pemilihan kepala daerah;
k.   memberikan persetujuan terhadap rencana kerjasama antar daerah dan dengan pihak ketiga yangmembebani masyarakat dan daerah.
b. Hak DPRD
Selain itu DPRD juga mempunyai hak-hak sebagaimana diatur dalam Pasal 43 UU Republik Indonesia No. 32 Tahun 2004, yaitu hak interpelasi, angket dan menyatakan pendapat. Pelaksanaan hak angket sebagaimana dimaksud di atas adalah dilakukan setelah diajukan hak interpelasi dan mendapat persetujuan dari Rapat Paripurna DPRD yang dihadiri sekurang-kurangnya ¾ (tiga perempat) dari jumlah anggota DPRD dan putusan diambil dengan persetujuan sekurang-kurangnya 2⁄3 (dua pertiga) dari jumlah anggota DPRD yang hadir. Dalam melaksanakan hak angket dibentuk panitia angket yang terdiri atas semua unsur fraksi DPRD yang bekerja dalam waktu paling lama 60 hari telah menyampaikan hasil kerjanya kepada DPRD.
c. Hak Anggota DPRD
Selain DPRD sebagai lembaga yang mempunyai berbagai hak, maka anggota DPRD juga mempunyai hak-hak sebagaimana diatur dalam Pasal 44 UU Republik Indonesia No. 32 Tahun 2004, yaitu mengajukan rancangan Peraturan Daerah; mengajukan pertanyaan; menyampaikan usul dan pendapat; memilih dan dipilih; membela diri; imunitas; protokoler dan keuangan serta administratif.
d. Kepala Daerah
Dilihat dari susunannya, pada pemerintahan daerah terdapat dua lembaga yaitu Pemerintah Daerah dan DPRD. Pemerintah daerah provinsi dipimpin oleh Gubernur, sedangkan pemerintah daerah kabupaten/ kota dipimpin oleh Bupati/Walikota. Gubernur/Bupati/Walikota yang biasa disebut Kepala Daerah memiliki kedudukan yang sederajat dan seimbang dengan DPRD masing-masing daerah.
Kepala Daerah dan DPRD memiliki tugas/wewenang dan mekanisme pemilihan yang berbeda. Kepala Daerah memiliki tugas dan wewenang sebagai berikut:
a.   memimpin penyelenggaraan pemerintahan daerah berdasarkan kebijakan yang ditetapkan bersama DPRD;
b.   mengajukan rancangan Peraturan Daerah;
c.    menetapkan Peraturan daerah yang telah mendapat persetujuan bersama DPRD;
d.   menyusun dan mengajukan rancangan Peraturan daerah tentang APBD kepada DPRD untuk dibahas dan ditetapkan bersama;
e.   mengupayakan terlaksananya kewajiban daerah;
f.    mewakili daerahnya di dalam dan di luar pengadilan, dan dapat menunjuk kuasa hukum untuk mewakilinya sesuai dengan peraturan perundangundangan; dan
g.   melaksanakan tugas dan wewenang lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pemilihan Kepala Daerah baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota dilakukan secara demokratis dan transparan. Mekanisme pemilihan kepala daerah dikenal dengan istilah PILKADA langsung.
Setiap Daerah dipimpin oleh seorang Kepala Daerah sebagai Kepala Eksekutif yang dibantu oleh Wakil Kepala Daerah. Kepala Daerah Provinsi disebut Gubernur, yang karena jabatannya adalah juga sebagai Wakil Pemerintah. Sebagai Kepala Daerah, Gubernur bertanggung jawab kepada DPRD, sebagai Wakil Pemerintah, Gubernur berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden. Kepala Daerah Kabupaten disebut Bupati, sedangkan Daerah Kota disebut Walikota yang dalam menjalankan tugas dan wewenangnya selaku Kepala Daerah bertanggung jawab kepada DPRD Kabupaten/ Kota.
Sebagai alat Pemerintah Pusat, Gubernur melaksanakan tugas-tugas antara lain.
a.   Membina ketenteraman dan ketertiban di wilayahnya;
b.   Menyelenggarakan koordinasi kegiatan lintas sektor mulai dari perencanaan sampai pelaksanaan dan pengawasan kegiatan dimaksud
c.    Membimbing dan mengawasi penyelenggaraan pemerintah daerah
d.   Melaksanakan usaha-usaha pembinaan kesatuan bangsa sesuai kebijaksanaan yang ditetapkan pemerintah
e.   Melaksanakan segala tugas pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang diberikan kepadanya
f.    Melaksanakan tugas pemerintahan yang tidak termasuk dalam tugas instansi lainnya.
e. Keuangan Daerah
Sumber-sumber keuangan daerah dalam pelaksanaan desentralisasi adalah : Pendapatan Asli Daerah (PAD); Dana Perimbangan; Pinjaman Daerah ; dan lain-lain penerimaan yang sah. Sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) terdiri atas Hasil Pajak Daerah; Hasil Restribusi Daerah; Hasil Perusahaan Milik Daerah dan Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah lainnya yang dipisahkan serta lainlain pendapatan daerah yang sah. Dana Perimbangan terdiri atas bagian daerah dari penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, dan Penerimaan dari sumber daya alam; Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK).Penerimaan Negara dari Pajak Bumi dan Bangunan dibagi dengan imbangan 10% untuk Pemerintah Pusat dan 90% untuk Daerah. Penerimaan Negara dari Bea Perolehan Hak atas tanah dan Bangunan dibagi dengan imbangan 20% untuk Pemerintah Pusat dan 80% untuk Daerah. Sebesar 10% dari penerimaan PBB dan 20% dari penerimaan Bea Perolehan hak atas tanah dan bangunan dibagikan kepada seluruh kabupaten dan kota. Penerimaan Negara dari sumber daya alam sektor kehutanan, sektor pertambangan umum dan sektor perikanan dibagi dengan imbangan 20% untuk pemerintah pusat dan 80% untuk Daerah. Sedangkan penerimaan negara dari pertambangan minyak setelah dikurangi pajak dibagi dengan imbangan 85% untuk pemerintah pusat dan 15% untuk pemerintah daerah. Sementara itu penerimaan negara dari sektor gas alam setelah dikurangi pajak dibagikan dengan imbangan 70% untuk Pemerintah Pusat dan 30% untuk Daerah.
4.Penutup
Perbedaan UU No. 22 tahun 1999 dengan UU No. 32 tahun 2004 adalah :
  1. Pada UU No. 22/99 pemda mempertanggungjawabkan tugasnya kepada DPRD. DPRD lebih tinggi dari pemda
  2. Pada UU No. 32 /2004 kedudukan DPRD dan Pemda sama, keduanya disebut sebagai penyelenggara daerah
            Keberadaan negara tidak mungkin dinafikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.  Negara diperlukan jika ingin tetap mewujudkan harmonisasi kehidupan rakyat.  Perwujudan kontrak sosial yang dilembagakan dengan kehadiran negara membawa implikasi pada kerelaan individu-individu warga negara untuk diatur oleh negara.  Dengan kata lain, negara berdaulat atas kekuasaannya dihadapan rakyatnya.  Namun persoalannya, siapa yang dapat menjamin bahwa kekuasaan negara  digunakan untuk kepentingan rakyatnya.  Dalam kondisi transisi ke demokrasi, memang diperlukan negara kuat.  Apalagi dalam kondisi masyarakat Indonesia yang plural.  Transisi demokrasi yang sedang berlangsung melalui pelaksanaan otonomi daerah saat ini sudah memberi gambaran bagaimana demokrasi tersebut dipahami oleh rakyat Indonesia.  Paling tidak ketika UU No. 22 tahun 1999 dilaksanakan negara pada kondisi pasif (lemah), akibatnya terjadi konflik di banyak daerah.  Dapat disimpulkan bahwa berlakunya UU No. 32 tahun 2004 menggantikan UU No. 22 tahun 1999 ialah bukti nyata keinginan pusat untuk kembali mengendalikan daerah melalui penguatan peranan negara dalam proses demokrasi di tingkat lokal.
Daftar Pustaka.

Agung, Ide Anak Agung Gde, 1983.  Renville. Jakarta: Sinar Harapan.
Bahan, Syaafroedin, “ Nasionalisme dan Demokrasi”, makalah Kongres Nasional Sejarah Tahun 1996, Jakarta.
Bochari, M.Sanggupri, “Otonomi Daerah dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia sejak Kemerdekaan Hingga Orde Baru”, makalah Kongres Nasional Sejarah Tahun 1996, Jakarta.
Culla, Adi Suryadi, “Otonomi Daerah dalam Tinjauan Politik”, dalam Usahawan No. 04 Th. XXIX, April 2000.
Wasistiono, Sadu. 2005. Desentralisasi dan otonomi daerah masa reformasi (1999-2004).  Dalam Anonimous. Pasang Surut Otonomi Daerah: Sketsa perjalanan 100 tahun. Hal. 155-196. Jakarta: Yayasan TIFA.












Tidak ada komentar:

Posting Komentar