1. Pendahuluan
Otonomi daerah sebagaimana
dituangkan dalam UU No. 22 tahun 1999 yang kemudian di revisi dengan UU No. 32
tahun 2004, sejak saat itu wacana otonomi daerah mengemuka dengan berbagai
dilemma baru yang perlu pula memperoleh solusi baru, yang sejalan dengan perkembangan
politik dalam era reformasi serta sekaligus sebagai pelaksanan terhadap UUD 45
yang didalamnya disebutkan bahwa sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik
Indonesia adalah memberikan keleluasaan kepada daerah untuk menyelenggarakan
otonomi daerah. Wacana tersebut memperoleh sambutan positif dari semua pihak,
dengan segenap harapan bahwa melalui otonomi daerah akan dapat merangsang
terhadap adanya upaya untuk menghilangkan praktek-praktek sentralistik yang
pada satu sisi dianggap kurang menguntungkan bagi daerah dan penduduk lokal.
Menurut Sarundajang (1998),
otonomi (autonomy) berasal dari bahasa Yunani, auto berarti sendiri
dan namous berarti hukum atau peraturan. Menurut Encyclopedia
of Social Science, otonomi dalam pengertian orisinal adalah the legal
self sufficientcy of social body and is actual independence. Sedangkan
menurut Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, otonomi
daerah diartikan sebagai kewenangan daerah otonomi untuk mengatur dan mengurus
kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi
masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Berdasarkan pada pengertian
tersebut di atas, maka terdapat dua pandangan yang menjiwai makna otonomi,
yaitu: pertama, legal self sufficiency dan yang kedua, adalah actual
independence. Berdasarkan pada pemahaman otonomi daerah tersebut, maka pada
hakekatnya otonomi daerah bagi pembangunan regional adalah hak mengurus rumah
tangga sendiri bagi suatu daerah otonom. Hak tersebut bersumber dari wewenang
pangkal dan urusan-urusan pemerintah (pusat) yang diserahkan kepada daerah,
yang dalam penyelenggaraannya lebih memberikan tekanan pada prinsip-prinsip
demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan, serta memperhatikan
potensi dan keragaman daerah.
Satu
hal lagi yang perlu mendapatkan perhatian dalam rangka penyerahan kewenangan
tersebut, yaitu bahwa dalam kebebasan menjalankan hak mengurus dan mengatur
rumah tangga sendiri yang mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan
kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan,
peradilan, moneter dan fiscal, serta agama, dan daerah tidak dapat menjalankan
hak dan wewenang otonomi itu di luar batas-batas wilayah kewenangannya. Oleh
karena itu, untuk mengatur hal-hal yang demikian dilakukan melalui penyusunan
kebijakan pembangunan regional yang pada hakekatnya ditujukan untuk memenuhi
kepentingan daerah secara keseluruhan, baik pada daerah hilir maupun hulu.
Disamping
persoalan batas internal administrasi dengan pelbagai factor internal yang
berpengaruh pada mekanisme pelaksanaan pembangunan di wilayah yang bersangkutan
maka otonomi daerah juga harus memperhatikan faktor eksternalitas. Faktor
eksternalitas tersebut hendaknya dijadikan perhatian yang serius dalam
merancang/mendesain otonomi daerah dalam konteks pembangunan regional.
Mekanisme intensif antara daerah hulu dan hilir harus terbangun secara adil,
merata dan berkelanjutan, yang pada akhirnya otonomi daerah yang didalam
pelaksanaannya tidak memperhatikan karakter eksternal daerah hulu dan dalam
hubungannya dengan daerah hilir serta hanya berorientasi pada kepentingan
sesaat, maka pada gilirannya justru akan menimbulkan kemunduran dan konflik di
segala bidang.
Dalam
rangka pelaksanaan otonomi tersebut,dinyatakan bahwa kewenangan pemerintahan
pusat diserahkan kepada Daerah dalam rangka desentralisasi harus disertai
dengan penyerahan dan pengalihan pembiayaan, sarana dan prasarana serta
sumberdaya manusia sesuai dengan kewenangan yang diserahkan tersebut. Tidak
dapat dipungkiri bahwa dalam rangka menjalankan otonomi sepenuhnya tersebut
didalam implementasinya diperlukan dana yang memadai. Oleh karena itu, melalui
UU No. 25 tahun 1999 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan
daerah ( direvisi dengan UU.No.33 tahun 2004 ), maka kemampuan daerah untuk
memperoleh dana dapat lebih ditingkatkan. Berkaitan dengan peningkatan
kemampuan pendanaan di daerah tersebut ada beberapa hal yang harus
diperhatikan, antara lain harus memperhatikan asas keadilan dan rasa persatuan
sebagai bangsa.
Dalam
rangka pelaksanaan azas desentralisasi dibentuk dan disusun daerah propinsi,
daerah kabupaten dan daerah kota yang berwenang mengatur dan mengurus
kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi
masyarakat dan masing-masing daerah tersebut berdiri sendiri dan tidak
mempunyai hubungan tata jenjang (secara hierarki) antara satudegan lainnya.
Berdasarkan peda pernyataan tersebut maka akan muncul rigiditas dan kekakuan
antar daerah. Oleh sebab itu, diperlukan sebuah solusi terhadap permasalahan
tersebut melalui pengembangan paradigma pembangunan berkelanjutan dengan
pendekatan kewilayahan (Regional Approach).
Bisa
dipahami bahwa implementasi otonomi daerah di Indonesia berkaitan erat dengan
kewujudan mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Tidak
ada sebarang keinginan yang bisa diminta daerah kepada pusat khususnya dalam
menyelenggarakan fungsi pemerintahan daerah, kecuali dalam kerangka memperkuat
kedudukan NKRI di seluruh wilayah Indonesia. Bagi pemerintah pusat bukanlah hal
yang mudah untuk mempertahankan terotorialnya di tengah menguatnya kekuatan
supranasional, integrasi sistem ekonomi internasional, dan globalisasi.
Ini bisa jadi menjadi tantangan serius bagi kewujudan negara bangsa di dunia,
termasuk Indonesia (King & Kendall 2004:5). Pemerintah pusat
menyadari betul upaya ini harus didukung oleh kekuatan politik termasuk
lembaga-lembaga negara (state apparatus) seperti birokrasi dan
militer. Maknanya, kedaulatan teritori NKRI mesti mampu dikendalikan
pusat dengan otoritas penuh yang dapat menjangkau seluruh daerah di
Indonesia. Melalui penguasaan struktur kekuasaan politik dan finansial
pusat menjadi kuat atas daerah. Inilah satu antara langkah yang dilakukan
Pemerintahan Orde Baru bagi menguatkan kekuasaannya pada mula kepimpinan
Presiden Soeharto.
Melalui
legitimasi dan otoritas politik penuh yang dimilikinya, tak jarang pemerintah
pusat mengartikan gejala-gejala politik yang muncul dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara dengan tafsirannya sendiri. Konsekuensinya jelas kepada
kebijakan dan tindakan yang mesti dilakukannya. Adakalanya pusat
menyikapi kondisi politik yang berlaku dalam kehidupan masyarakat secara
otoritarian, karena dianggap dapat membahayakan kelangsungan NKRI. Misalnya,
menyangkut kewujudan nasionalisme yang mesti ditanamkan dalam jiwa dan semangat
Rakyat Indonesia yang multi etnis, multi agama, dan beragam kebudayaan sebagai
bagian dari strategi politiknya dalam mengendalikan kemajemukan rakyat
Indonesia.
Nasionalisme
juga diciptakan untuk mewujudkan pertumbuhan ekonomi, stabilitas politik, dan
pemerataan bagi kesejahteraan bersama. Kecenderungan ini yang menjadi
bagian kebijakan politik Pemerintah Orde Baru yang dikenal dengan trilogi
pembangunan (Lihat Liddle 1999: 52). Nasionalisme Indonesia dibungkus ke
dalam ideologi Pancasila dan semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Atas nama
“kebersamaan dengan Indonesia” inilah, maka pusat berupaya memahami apa yang
diperlukan dan yang baik bagi Rakyat Indonesia. Gantinya rakyat dituntut
pula untuk berkhidmat pada pemerintah pusat, termasuk tuntutan melaksanakan
semangat kebersamaan dalam ke Indonesian yang lazim disebut persatuan Indonesia
(McVey 2003:21). Pemerintah pusat atas nama Negara Indonesia berterusan
menanamkan semangat kebersamaan ini demi keutuhan Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang hingga saat ini terus mencari bentuk yang sesuai dengan
keberagaman bangsa Indonesia.
Negara
kesatuan (unitary state) adalah merupakan agenda utama dalam proses
pembentukan Negara Indonesia yang ada di pusat. Ini terbukti bahwa dalam
amandemen konstitusi Republik Indonesia (UUD 1945) yang bisa diwujudkan setelah
reformasi politik tahun 1998. Amandemen terhadap UUD 1945 ini melarang
mengubah bentuk negara kesatuan ke dalam bentuk. Asumsi elitee politik
di Jakarta adalah bahwa negara kesatuan adalah bentuk akhir dan yang paling
sesuai dengan realitas rakyat Indonesia yang pluralistik. Oleh kerana itu,
kenyataan ini harus disadari oleh semua elite yang berkuasa termasuk rakyatnya
bahwa bentuk NKRI adalah satu cara yang sesuai dan hal yang “final” dalam
proses mewujudkan “Indonesia.”
Dalam realitasnya, elite politik di
Jakarta bertindak sebagai negara dan menafsirkan kepentingan-kepentingan
negara. Namun malangnya, tindakan dan tafsiran kepentingan atas nama
negara ini seringkali berisikan pula tindakan dan kepentingan elite dan
kelompoknya terutama untuk mengekalkan kekuasaan politik yang ada di tangan
mereka. Kecenderungan ini menimbulkan permasalahan apakah memang “Negara
(Indonesia)” mempunyai kepentingan terhadap keharusan wujud negara kesatuan dan
tidak bisa dalam bentuk lain? Apakah wujud dalam bentuk lain seperti
federalisme, yang apabila dikehendaki rakyat di daerah mesti ditolak? Apakah
“negara” mesti berkuasa meniadakan keinginan tersebut? Bagaimana pula negara
harus bersikap dengan demokrasi yang muncul di tingkat lokal dimana menghendaki
terciptanya kesejahteraan, keadilan dan pengakuan terhadap hak-hak politik
mereka? Bagi menjawab perkara di atas, maka tulisan ini akan coba
membincangkan tentang hubungan negara dan rakyat lebih mendalam terkait dengan
pelaksanaan demokrasi di tingkat lokal.
2.Permasalahan
Arti
penting pelaksanaan otonomi daerah dalam konteks negara kesatuan Republik Indonesia
?
OTONOMI DAERAH UNTUK KEPENTINGAN
RAKYAT
Dewasa ini,
Otonomi Daerah kita laksanakan dalam situasi politik, ekonomi, sosial dan moral
yang rusak, sebagai akibat dari sistem politik rezim militer Orde Baru. Untuk
memperbaiki banyak kerusakan-kerusakan berat di berbagai bidang itu saja
diperlukan waktu yang panjang. Bahkan di antara berbagai pakar Indonesia maupun
luar negeri ada yang sudah pesimis untuk bisa memperbaikinya dalam waktu yang
singkat. Ada yang memperhitungkan bahwa kerusakan-kerusakan itu baru bisa
diperbaiki dalam tempo satu generasi, atau 30 tahun. Kerusakan yang paling
berat adalah di bidang moral.
Sekarang ini,
kesulitan untuk memperbaiki kerusakan-kerusakan di berbagai bidang itu ditambah
lagi dengan persoalan pelaksanaan Otonomi Daerah. Sudah muncul dewasa ini
berbagai suara yang mencerminkan kekuatiran bahwa Otonomi Daerah justru akan
merupakan lahan subur bagi tumbuhnya separatisme atau permusuhan antar-suku dan
antar-agama. Dikuatirkan juga lahirnya di berbagai daerah beraneka-ragam
"raja kecil", atau “Suharto kecil”, yang bisa merajalela di
daerah-daerah dengan dukungan golongan terbesar. Memang, tidak bisa diingkari
adanya kemungkinan akan berkuasanya berbagai mafia politik, mafia ekonomi,
mafia kejahatan di skala daerah, kalau suara masyarakat daerah bisa dibungkam.
Aliansi antara kekuatan-kekuatan anti-rakyat yang berskala daerah akan bisa
mematikan demokrasi, dan mencekek partisipasi rakyat daerah dalam pengelelolaan
pemerintahan. Kekuatiran-kekuatiran itu semuanya ada dasarnya, dan wajar.
Sebab, di masa yang lalu - dan sekarang juga! – sudah terjadi hal-hal itu
semua, dalam berbagai bentuk dan berbagai derajat.
Tetapi,
Otonomi Daerah yang bisa dilaksanakan dengan baik, justru akan menghilangkan
atau mengurangi berbagai gejala yang negatif itu. Sebab, inti tujuan Otonomi
Daerah adalah desentralisasi demokrasi, atau desentralisasi kekuasaan
pemerintahan yang harus didasarkan atas prinsip-prinsip demokratis. Otonomi
Daerah – yang sungguh-sungguh! – bukanlah untuk memindahkan aspek-aspek negatif
yang selama ini digembol oleh Pemerintahan Pusat (Jakarta). Kalau bisa
dijalankan dengan baik, Otonomi Daerah justru akan bisa mencegah (atau
setidak-tidaknya : mengurangi) segala praktek atau politik yang negatif
Pemerintah Pusat.
Perlulah kiranya
semua fihak terus-menerus diingatkan bahwa Otonomi Daerah adalah pada dasarnya
untuk kepentingan seluruh rakyat, dan bukannya hanya untuk kepentingan suatu
golongan agama, suku, atau aliran politik. Dalam rangka inilah maka penting
sekali untuk melaksanakan Otonomi Daerah dengan selalu dijiwai oleh semangat
yang terkandung dalam lambang negara kita : “Bhinneka Tunggal Ika”.
3.Pembahasan
A. OTONOMI DAERAH
1.Hakikat Otonomi Daerah
Indonesia
adalah negara kesatuan yang berbentuk republik yang dalam pelaksanaan
pemerintahannya dibagi atas daerah-daerah propinsi dan daerah propinsi dibagi
atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap propinsi, kabupatan dan kota mempunyai
pemerintahan daerah untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan
menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Pemerintah daerah berhak menetapkan
Peraturan Daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi daerah
dan tugas pembantuan. Pembahasan materi Hakikat Otonomi Daerah menggunakan
sejumlah kata kunci yang dapat mengantarkan kalian untuk lebih mengenal
berbagai istilah dalam pelaksanaan Otonomi Daerah. Agar istilah-istilah
tersebut dapat kalian kuasai dengan baik, kalian dapat mempelajarinya melalui
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah dan Undang-Undang Republik Indonesia nomor 33 Tahun 2004 tentang
Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah.Pemerintah adalah
perangkat Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terdiri dari Presiden beserta
para menteri. Pemerintah Daerah adalah Kepala Daerah beserta perangkat daerah
otonom yang lain sebagai badan eksekutif daerah. DPRD adalah Badan legislatif
daerah.
Desentralisasi
adalah penyerahan wewenangpemerintah oleh Pemerintah kepada Daerah Otonom dalam
kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.Dekonsentrasi adalah pelimpahan
wewenang dari pemerintah pusat kepada Gubernur sebagai Wakil Pemerintah
dan/atau perangkat pusat di daerah. Tugas Pembantuan adalah penugasan dari
Pemerintah kepada daerah dan desa serta dari daerah ke desa untuk melaksanakan
tugas tertentu yang disertai pembiayaan, sarana, prasarana serta sumber daya
manusia dengan kewajiban melaporkan pelaksanaannya dan mempertanggung
jawabkannya kepada yang menugaskan. Otonomi daerah adalah kewenangan daerah
otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut
prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan
perundang-undangan. Daerah Otonom adalah kesatuan masyarakat hukum yang
mempunyai batas daerah tertentu berwenang mengatur dan mengurus kepentingan
masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat
dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Wilayah Administrasi adalah
wilayah kerja Gubernur selaku wakil pemerintah. Instansi Vertikal adalah
perangkat departemen dan/atau lembaga pemerintah non departemen di daerah.
Pejabat yang
berwenang adalah pejabat pemerintah di tingkat pusat dan/atau pejabat
pemerintah di daerah propinsi yang berwenang membina dan mengawasi
penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Kecamatan adalah wilayah kerja Camat
sebagai perangkat daerah kabupaten dan daerah kota. Kelurahan adalah wilayah
kerja lurah sebagai perangkat daerah kabupaten dan/atau daerah kota di bawah
kecamatan. Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk
mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal usul dan
adat istiadat setempat yang diakui dalam sistem Pemerintahan Nasional dan
berada di daerah kabupaten. Desentralisasi adalah transfer (perpindahan) kewenangan
dan tanggungjawab fungsi-fungsi publik. Transfer ini dilakukan dari pemerintah
pusat ke pihak lain, baik kepada daerah bawahan, organisasi pemerintah yang
semi bebas ataupun kepada sektor swasta. Selanjutnya desentralisasi dibagi
menjadi empat tipe, yaitu :
1. Desentralisasi
politik, yang bertujuan menyalurkan semangat demokrasi secara positif di
masyarakat
2. Desentralisasi
administrasi, yang memiliki tiga bentuk utama, yaitu : dekonsentrasi, delegasi
dan devolusi, bertujuan agar penyelenggaraan pemerintahan dapat berjalan secara
efektif dan efi sien
3. Desentralisasi fi
skal, bertujuan memberikan kesempatan kepada daerah untuk menggali berbagai
sumber dana
4. Desentralisasi ekonomi
atau pasar, bertujuan untuk lebih memberikan tanggungjawab yang berkaitan
sektor publik ke sektor privat.
Pelaksanaan
otonomi daerah, juga sebagai penerapan (implementasi) tuntutan globalisasi yang
sudah seharusnya lebih memberdayakan daerah dengan cara diberikan kewenangan
yang lebih luas, lebih nyata dan bertanggung jawab. Terutama dalam mengatur,
memanfaatkan dan menggali sumber-sumber potensi yang ada di daerahnya
masing-masing.
Desentralisasi
merupakan simbol atau tanda adanya kepercayaan pemerintah pusat kepada daerah.
yang akan mengembalikan harga diri pemerintah dan masyarakat daerah.
Diberlakukannya UU No. 32 dan UU No. 33 tahun 2004, kewenangan Pemerintah
didesentralisasikan ke daerah, ini mengandung makna, pemerintah pusat tidak
lagi mengurus kepentingan rumah tangga daerahdaerah. Kewenangan mengurus, dan
mengatur rumah tangga daerah diserahkan kepada masyarakat di daerah. Pemerintah
pusat hanya berperan sebagai supervisor, pemantau, pengawas dan penilai. Visi
otonomi daerah dapat dirumuskan dalam tiga ruang lingkup utama, yaitu :
Politik, Ekonomi serta Sosial dan Budaya. Di bidang politik, pelaksanaan
otonomi harus dipahami sebagai proses untuk membuka ruang bagi lahirnya kepala
pemerintahan daerah yang dipilih secara demokratis, memungkinkan berlangsungnya
penyelenggaraan pemerintahan yang responsif terhadap kepentingan masyarakat
luas, dan memelihara suatu mekanisme pengambilan keputusan yang taat pada asas
pertanggungjawaban publik. Gejala yang muncul dewasa ini partisipasi masyarkat
begitu besar dalam pemilihan Kepala Daerah, baik propinsi, kabupaten maupun
kota. Hal ini bisa dibuktikan dari membanjirnya calon-calon Kepala Daerah dalam
setiap pemilihan Kepala Daerah baik di tingkat propinsi maupun kabupaten atau
kota. Di bidang ekonomi, otonomi daerah di satu pihak harus menjamin lancarnya
pelaksanaan kebijakan ekonomi nasional di daerah, dan di pihak lain terbukanya
peluang bagi pemerintah daerah mengembangkan kebijakan regional dan lokal untuk
mengoptimalkan pendayagunaan potensi ekonomi di daerahnya. Dalam konteks ini,
otonomi daerah akan memungkinkan lahirnya berbagai prakarsa pemerintah daerah
untuk menawarkan fasilitas investasi, memudahkan proses perizinan usaha, dan
membangun berbagai infrastruktur yang menunjang perputaran ekonomi di
daerahnya. Dengan demikian otonomi daerah akan membawa masyarakat ke tingkat
kesejahteraan yang lebih tinggi dari waktu ke waktu.
Di bidang
sosial budaya, otonomi daerah harus dikelola sebaik mungkin demi menciptakan
harmoni sosial, dan pada saat yang sama, juga memelihara nilai-nilai lokal yang
dipandang kondusif terhadap kemampuan masyarakat dalam merespon dinamika
kehidupan di sekitarnya. Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan, bahwa
konsep otonomi daerah mengandung makna :
1. Penyerahan sebanyak
mungkin kewenangan pemerintahan dalam hubungan domestik kepada daerah, kecuali
untuk bidang keuangan dan moneter, politik luar negeri, peradilan, pertahanan,
keagamaan, serta beberapa kebijakan pemerintah pusat yang bersifatstrategis
nasional.
2. Penguatan peran DPRD
dalam pemilihan dan penetapan kepala daerah; menilai keberhasilan atau
kegagalan kepemimpinan kepala daerah.
3. Pembangunan tradisi
politik yang lebih sesuai dengan kultur (budaya) setempat demi menjamin
tampilnya kepemimpinan pemerintahan yang berkualifi kasi tinggi dengan tingkat
akseptabilitas (kepercayaan) yang tinggi.
4. Peningkatan efektifi
tas fungsi-fungsi pelayanan eksekutif melalui pembenahan organisasi dan
institusi yang dimiliki agar lebih sesuai dengan ruang lingkup kewenangan yang
telah didesentralisasikan.
5. Peningkatan efeisiensi
administrasi keuangan daerah serta pengaturan yang lebih jelas atas
sumber-sumber pendapatan negara.
6. Perwujudan
desentralisasi fi skal melalui pembesaran alokasi subsidi pusat yang bersifat block
grant.
7. Pembinaan dan
pemberdayaan lembaga-lembaga dan nilai-nilai lokal yang bersifat kondusif
terhadap upaya memelihara harmoni sosial.
2. Tujuan Otonomi Daerah
Tujuan utama
dikeluarkannya kebijakan otonomi daerah antara lain adalah membebaskan
pemerintah pusat dari beban-beban yang tidak perlu dalam menangani urusan
daerah. Dengan demikian pusat berkesempatan mempelajari, memahami, merespon
berbagai kecenderungan global dan mengambil manfaat daripadanya. Pada saat yang
sama pemerintah pusat diharapkan lebih mampu berkonsentrasi pada perumusan
kebijakan makro (luas atau yang bersifat umum dan mendasar) nasional yang
bersifat strategis. Di lain pihak, dengan desentralisasi daerah akan mengalami
proses pemberdayaan yang optimal. Kemampuan prakarsa dan kreativitas pemerintah
daerah akan terpacu, sehingga kemampuannya dalam mengatasi berbagai masalah
yang terjadi di daerah akan semakin kuat.
Adapun tujuan pemberian otonomi
kepada daerah adalah sebagai berikut:
1. Peningkatan pelayanan
dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik.
2. Pengembangan kehidupan
demokrasi.
3. Keadilan.
4. Pemerataan.
5. Pemeliharaan
hubungan yang serasi antara Pusat dan Daerah serta antar daerah dalam rangka
keutuhan NKRI.
6. Mendorong untuk
memberdayakan masyarakat.
7. Menumbuhkan
prakarsa dan kreativitas, meningkatkan peran serta masyarakat, mengembangkan
peran dan fungsi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
3. Asas-asas dan
Prinsip-Prinsip Pemerintahan Daerah
Bacalah pasal18 UUD 1945. Dari
pasal itu dapat kita sarikan sebagai berikut :
1. Adanya pembagian
daerah otonom yang bersifat berjenjang, Provinsi dan Kabupaten/ Kota;
2. Daerah otonom mengatur
dan mengurus urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan;
3. Secara eksplisit tidak
disinggung mengenai asas dekonsentrasi;
4. Pemerintah daerah otonom
memiliki DPRD yang anggota-anggotanya dipilih secara demokratis;
5. Kepala daerah dipilih
secara demokratis;
6. Pemerintah daerah
menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh
undangundang ditentukan sebagai urusan Pemerintah.
Bagian ini
kita akan membicarakan tentang asas-asas yang digunakan dalam penyelenggaraan
pemerintahan daerah. Namun sebelum itu, ada baiknya kalian pahami dulu beberapa
istilah yang berkaitan dengan sistem pemerintahan daerah, yaitu antara lain pemerintahan
daerah, pemerintah daerah, otonomi daerah, dan daerah otonom.
Pemerintahan
daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan
DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi
seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pemerintah daerah adalah Gubernur (untuk provinsi), Bupati (untuk kabupaten),
Walikota (untuk Kota) dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara
pemerintahan daerah.
Otonomi
daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan
mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai
dengan peraturan perundang-undangan.
Daerah otonom
adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang
mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat
menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Setelah kalian mengetahui arti beberapa istilah di
atas, mari kita bahas asas-asas apa yang digunakan dalam penyelenggaraan
pemerintahan daerah? Dalam pasal 18 ayat (2) UUD Negara Republik Indonesia
tahun 1945 ditegaskan bahwa “pemerintah daerah provinsi, daerah kabupaten, dan
kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan
tugas pembantuan”. Dengan demikian terdapat dua asas yang digunakan dalam
penyelenggaraan pemerintahan daerah yaitu asas otonomi dan tugas pembantuan.
Asas otonomi dalam ketentuan tersebut memiliki makna bahwa pelaksanaan urusan
pemerintahan oleh daerah dapat diselenggarakan secara langsung oleh
pemerintahan daerah itu sendiri. Sedangkan asas tugas pembantuan dimaksudkan
bahwa pelaksanaan urusan pemerintahan tersebut dapat dilaksanakan melalui
penugasan oleh pemerintah provinsi ke pemerintah kabupaten/kota dan desa atau
penugasan dari pemerintah kabupaten/kota ke desa (Penjelasan UU Republik
Indonesia No.32 Tahun 2004).
Apa yang dimaksud
desentralisasi?
Desentralisasi
adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah (Pusat) kepada Daerah
Otonomi untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara
Kesatuan Republik Indonesia (UU No.32 Tahun 2004). Perlu kalian ingat, bahwa
sekalipun daerah diberi keleluasaan untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahannya
sendiri, tetapi tetap berada dalam bingkai dan kedaulatan Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Artinya, pemerintah daerah berkewajiban untuk patuh dan
menghormati kewenangan yang dimiliki Pemerintah Pusat. Asas yang kedua adalah
tugas pembantuan yaitu penugasan dari Pemerintah (Pusat) kepada daerah dan/atau
desa, dan dari pemerintah provinsi kepada kabupaten /kota dan/atau desa serta
dari pemerintah kabupaten/kota kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu.
Jadi urusan pemerintahan dalam tugas pembantuan bukan merupakan atas inisiatif
dan prakarsa sendiri tetapi merupakan penugasan dari pemerintah yang ada di
atasnya. Untuk mewujudkan cita-cita dan tujuan diberikannya otonomi daerah,
pemerintahan daerah dituntut lebih kreatif dan inisiatif menggali dan
memanfaatkan segenap potensi daerah untuk mencapai kemajuan dan kesejahteraan
masyarakat di daerah. Oleh karena itu, dalam UUD Negara Republik Indonesia
tahun 1945 ditegaskan, bahwa pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan
daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas
pembantuan (UUD 1945 pasal 18 ayat (6).
Adapun prinsip Penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah adalah sebagai berikut :
1. Digunakannya asas
desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan;
2. Penyelenggaraan asas
desntralisasi secara utuh dan bulat yang dilaksanakan di Daerah Kabupaten dan
Daerah Kota,
3. Asas tugas pembantuan yang
dapat dilaksanakan di Daerah Propinsi, Daerah Kabupaten; Daerah Kota, dan Desa.
Kewenangan otonomi luas
adalah keleluasaan daerah untuk menyelenggarakan pemerintahan yang mencakup
kewenangan semua bidang pemerintahan, kecuali: kewenangan di bidang politik
luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter, dan fiskal, agama serta
kewenangan di bidang lainnya yang akan ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah,
termasuk kewenangan yang utuh dalam hal perencanaan, pelaksanaa, pengawasan,
pengendalian dan evaluasi.
Otonomi nyata adalah
keleluasaan daerah untuk menyelenggarakan kewenangan pemerintahan di bidang
tertentu yang secara nyata ada dan diperlukan serta tumbuh, hidup dan
berkembang di daerah
Otonomi bertanggungjawab
adalah berupa per wujudan pertanggung jawaban sebagai konsekuensi pemberian
hak dan kewenangan kepada daerah dalam wujud tugas dan kewajiban yang harus
dipikul oleh daerah dalam mencapai tujuan pemberian otonomi
4. Kewenangan Daerah
dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah
Dalam susunan
pemerintahan di negara kita ada Pemerintah Pusat, Pemerintahan Daerah Provinsi,
dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/kota, serta Pemerintahan Desa. Masing-masing
pemerintahan tersebut memiliki hubungan yang bersifat hierakhis. Dalam UUD
Negara Indonesia tahun 1945 ditegaskan, bahwa hubungan wewenang antara
pemerintah pusat dan pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota, atau
antara provinsi dan kabupaten dan kota, diatur dengan undang-undang dengan
memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah [Pasal 18 A (1)]. Hubungan
keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya
antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah diatur dan dilaksanakan secara
adil dan selaras berdasarkan undang-undang [Pasal 18 A (2)]. Berdasarkan kedua
ayat tersebut dapat dijelaskan, bahwa:
1. Antar susunan
pemerintahan memiliki hubungan yang bersifat hierarkhis;
2. Pengaturan hubungan
pemerintahan tersebut memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah;
3. Pengaturan hubungan
sebagaimana disebutkan pasal 18A ayat (1) diatur lebih lanjut dalam UU Republik
Indonesia No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah;
4. Antara Pemerintah
Pusat dan pemerintahan daerah memiliki hubungan keuangan, pelayanan umum, dan
pemanfaatan sumber daya;
5. Pengaturan hubungan
sebagaimana disebutkan pasal 18A ayat (2) diatur lebih lanjut dalam UU Republik
Indonesia No.33 Tahun 2004 tentang perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat
dan pemerintahan daerah.
Kewenangan provinsi diatur dalam
Pasal 13 UU No. 32 Tahun 2004 dapat diuraikan sebagai berikut :
1. Urusan wajib yang menjadi
kewenangan pemerintahan daerah propinsi meliputi :
a. perencanaan dan
pengendalian pembangunan
b. perencanaan,
pemanfaatan, dan pengwasan tata ruang
c. penyelenggaraan
ketertiban umum dan ketentraman masyarakat
d. penyediaan sarana dan
prasarana umum
e. penanganan bidang
kesehatan
f. penyelenggaraan
pendidikan dan alokasi sumber daya manusia potensial
g. penanggulangan masalah
sosial lintas kabupaten/kota
h. pelayanan bidang
ketenagakerjaan lintas kabupaten/ kota
i. fasilitasi
pengembangan koperasi, usaha kecil dan menengah termasuk lintas kabupaten/kota
j. pengendalian
lingkungan hidup
k. pelayanan pertanahan
termasuk lintas kabupaten/ kota
l. pelayanan
kependudukan, dan catatan sipil
m. pelayanan administrasi umum
pemerintahan
n. pelayanan administrasi
penanaman modal, termasuk lintas kabupaten/kota
o. penyelenggraan
pelayanan dasar lainnya yang belum dapat dilaksanakan oleh kabupaten/kota, dan
p. urusan wajib lainnya
yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan
2. Urusan pemerintahan propinsi
yang bersifat pilihan meliputi urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan
berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi
kekhasan, dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan Kewenangan
kabupaten/kota diatur dalam pasal 14 yang dapat diuraikan sebagai berikut :
a. perencanaan dan
pengendalian pembangunan
b. perencanaan,
pemanfaatan, dan pengwasan tata ruang
c. penyelenggaraan
ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat
d. penyediaan sarana dan
prasarana umum
e. penanganan bidang
kesehatan
f. penyelenggaraan
pendidikan
g. penanggulangan masalah
sosial
h. pelayanan bidang
ketenagakerjaan
i. fasilitasi
pengembangan koperasi, usaha kecil dan menengah
j. pengendalian
lingkungan hidup
k. pelayanan pertanahan
l. pelayanan
kependudukan, dan catatan sipil
m. pelayanan administrasi umum
pemerintahan
n. pelayanan administrasi
penanaman modal,
o. penyelenggraan
pelayanan dasar lainnya dan
p. urusan wajib lainnya
yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan
5. Bentuk dan Susunan
Pemerintah Daerah
Di daerah
dibentuk DPRD sebagai badan Legislatif Daerah dan Pemerintah Daerah sebagai
Badan Eksekutif Daerah. Pemerintah Daerah terdiri atas Kepala Daerah beserta
perangkat daerah lainnya. DPRD sebagai lembaga perwakilan rakyat di daerah
merupakan wahana untuk melaksanakan demokrasi berdasarkan Pancasila. DPRD
sebagai Badan Legislatif Daerah berkedudukan sejajar dan menjadi mitra dari
Pemerintah Daerah. Pasal 40 UU Republik Indonesia No. 32 Tahun 2004 menyatakan,
bahwa DPRD merupakan lembaga perwakilan rakyat daerah dan berkedudukan sebagai
unsur penyelenggaraan pemerintahan daerah. Sementara itu pasal 41 menyatakan,
bahwa DPRD memiliki fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan. DPRD merupakan
lembaga perwakilan rakyat daerah dan berkedudukan sebagai unsur penyelenggaraan
pemerintahan daerah. Dalam kedudukannya seperti itu, DPRD memiliki fungsi
legislasi, anggaran, dan pengawasan. Fungsi legislasi berkaitan dengan
pembentukan peraturan daerah, yang meliputi pembahasan dan memberikan
persetujuan terhadap Raperda, serta hak anggota DPRD untuk mengajukan Raperda.
Fungsi anggaran berkaitan dengan kewenangannya dalam hal anggaran daerah
(APBD). Sedangkan fungsi pengawasan berkaitan dengan kewenangan mengontrol
pelaksanaan Perda dan peraturan lainnya serta kebijakan pemerintah daerah.
Bagaimana cara pemilihan anggota DPRD? Dalam pasal 18 ayat (3) UUD 1945
ditegaskan, bahwa ”pemerintah daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota
memiliki Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang anggotaanggotanya dipilih melalui
pemilihan umum”. Pemilihan umum untuk memilih anggota DPRD waktu pelaksanaannya
bersamaan dengan pemilihan umum untuk anggota DPR dan DPD.
a. Tugas dan Wewenang
DPRD
Adapun tugas dan wewenang DPRD
sebagaimana diatur dalam pasal 42 UU Republik Indonesia nomor 32 Tahun 2004
adalah sebagai berikut:
a. membentuk Peraturan
Daerah yang dibahas dengan kepala daerah untuk mendapat persetujuan bersama;
b. membahas dan
menyetujui rancangan Peraturan Daerah tentang APBD bersama dengan Kepala
Daerah;
c. melaksanakan
pengawasan terhadap pelaksanaan Perda dan peraturan perundang-undangan lainnya,
peraturan kepala daerah, APBD, kebijakan pemerintah daerah dalam melaksanakan
program pembangunan daerah, dan kerjasama internasional di daerah;
d. mengusulkan pengangkatan
dan pemberhentian Gubernur/Wakil kepala daerah/wakil kepala daerah kepada
Presiden melalui Menteri Dalam Negeri bagi DPRD Propinsi dan kepada Menteri
Dalam Negeri melalui Gubernur bagi DPR kabupaten/kota;
e. memilih wakil kepala
daerah dalam hal terjadi kekosongan jabatan wakil kepala daerah;
f. memberikan
pendapat dan pertimbangan kepada pemerintah daerah terhadap rencana perjanjian
internasional di daerah;
g. memberikan persetujuan
terhadap rencana kerjasama internasional yang dilakukan oleh pemerintah daerah;
h. menerima laporan
keterangan pertanggungjawaban kepala daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan
daerah;
i. membentuk
panitia pengawas pemilihan kepala daerah;
j. melakukan
pengawasan dan meminta laporan KPUD dalam penyelenggaraan pemilihan kepala
daerah;
k. memberikan persetujuan
terhadap rencana kerjasama antar daerah dan dengan pihak ketiga yangmembebani
masyarakat dan daerah.
b. Hak DPRD
Selain itu
DPRD juga mempunyai hak-hak sebagaimana diatur dalam Pasal 43 UU Republik Indonesia
No. 32 Tahun 2004, yaitu hak interpelasi, angket dan menyatakan pendapat.
Pelaksanaan hak angket sebagaimana dimaksud di atas adalah dilakukan setelah
diajukan hak interpelasi dan mendapat persetujuan dari Rapat Paripurna DPRD
yang dihadiri sekurang-kurangnya ¾ (tiga perempat) dari jumlah anggota DPRD dan
putusan diambil dengan persetujuan sekurang-kurangnya 2⁄3 (dua pertiga) dari
jumlah anggota DPRD yang hadir. Dalam melaksanakan hak angket dibentuk panitia
angket yang terdiri atas semua unsur fraksi DPRD yang bekerja dalam waktu
paling lama 60 hari telah menyampaikan hasil kerjanya kepada DPRD.
c. Hak Anggota DPRD
Selain DPRD
sebagai lembaga yang mempunyai berbagai hak, maka anggota DPRD juga mempunyai
hak-hak sebagaimana diatur dalam Pasal 44 UU Republik Indonesia No. 32 Tahun
2004, yaitu mengajukan rancangan Peraturan Daerah; mengajukan pertanyaan;
menyampaikan usul dan pendapat; memilih dan dipilih; membela diri; imunitas;
protokoler dan keuangan serta administratif.
d. Kepala Daerah
Dilihat dari
susunannya, pada pemerintahan daerah terdapat dua lembaga yaitu Pemerintah
Daerah dan DPRD. Pemerintah daerah provinsi dipimpin oleh Gubernur, sedangkan
pemerintah daerah kabupaten/ kota dipimpin oleh Bupati/Walikota.
Gubernur/Bupati/Walikota yang biasa disebut Kepala Daerah memiliki kedudukan
yang sederajat dan seimbang dengan DPRD masing-masing daerah.
Kepala Daerah dan DPRD memiliki
tugas/wewenang dan mekanisme pemilihan yang berbeda. Kepala Daerah memiliki
tugas dan wewenang sebagai berikut:
a. memimpin
penyelenggaraan pemerintahan daerah berdasarkan kebijakan yang ditetapkan
bersama DPRD;
b. mengajukan rancangan
Peraturan Daerah;
c. menetapkan
Peraturan daerah yang telah mendapat persetujuan bersama DPRD;
d. menyusun dan
mengajukan rancangan Peraturan daerah tentang APBD kepada DPRD untuk dibahas
dan ditetapkan bersama;
e. mengupayakan
terlaksananya kewajiban daerah;
f. mewakili
daerahnya di dalam dan di luar pengadilan, dan dapat menunjuk kuasa hukum untuk
mewakilinya sesuai dengan peraturan perundangundangan; dan
g. melaksanakan tugas dan
wewenang lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pemilihan
Kepala Daerah baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota dilakukan secara
demokratis dan transparan. Mekanisme pemilihan kepala daerah dikenal dengan
istilah PILKADA langsung.
Setiap Daerah
dipimpin oleh seorang Kepala Daerah sebagai Kepala Eksekutif yang dibantu oleh
Wakil Kepala Daerah. Kepala Daerah Provinsi disebut Gubernur, yang karena
jabatannya adalah juga sebagai Wakil Pemerintah. Sebagai Kepala Daerah,
Gubernur bertanggung jawab kepada DPRD, sebagai Wakil Pemerintah, Gubernur
berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden. Kepala Daerah Kabupaten
disebut Bupati, sedangkan Daerah Kota disebut Walikota yang dalam menjalankan
tugas dan wewenangnya selaku Kepala Daerah bertanggung jawab kepada DPRD
Kabupaten/ Kota.
Sebagai alat Pemerintah Pusat,
Gubernur melaksanakan tugas-tugas antara lain.
a. Membina ketenteraman
dan ketertiban di wilayahnya;
b. Menyelenggarakan koordinasi
kegiatan lintas sektor mulai dari perencanaan sampai pelaksanaan dan pengawasan
kegiatan dimaksud
c. Membimbing dan
mengawasi penyelenggaraan pemerintah daerah
d. Melaksanakan
usaha-usaha pembinaan kesatuan bangsa sesuai kebijaksanaan yang ditetapkan
pemerintah
e. Melaksanakan segala
tugas pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang diberikan
kepadanya
f. Melaksanakan
tugas pemerintahan yang tidak termasuk dalam tugas instansi lainnya.
e. Keuangan Daerah
Sumber-sumber
keuangan daerah dalam pelaksanaan desentralisasi adalah : Pendapatan Asli
Daerah (PAD); Dana Perimbangan; Pinjaman Daerah ; dan lain-lain penerimaan yang
sah. Sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) terdiri atas Hasil Pajak Daerah; Hasil
Restribusi Daerah; Hasil Perusahaan Milik Daerah dan Hasil Pengelolaan Kekayaan
Daerah lainnya yang dipisahkan serta lainlain pendapatan daerah yang sah. Dana
Perimbangan terdiri atas bagian daerah dari penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan,
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, dan Penerimaan dari sumber daya
alam; Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK).Penerimaan Negara
dari Pajak Bumi dan Bangunan dibagi dengan imbangan 10% untuk Pemerintah Pusat
dan 90% untuk Daerah. Penerimaan Negara dari Bea Perolehan Hak atas tanah dan
Bangunan dibagi dengan imbangan 20% untuk Pemerintah Pusat dan 80% untuk
Daerah. Sebesar 10% dari penerimaan PBB dan 20% dari penerimaan Bea Perolehan
hak atas tanah dan bangunan dibagikan kepada seluruh kabupaten dan kota.
Penerimaan Negara dari sumber daya alam sektor kehutanan, sektor pertambangan
umum dan sektor perikanan dibagi dengan imbangan 20% untuk pemerintah pusat dan
80% untuk Daerah. Sedangkan penerimaan negara dari pertambangan minyak setelah
dikurangi pajak dibagi dengan imbangan 85% untuk pemerintah pusat dan 15% untuk
pemerintah daerah. Sementara itu penerimaan negara dari sektor gas alam setelah
dikurangi pajak dibagikan dengan imbangan 70% untuk Pemerintah Pusat dan 30%
untuk Daerah.
4.Penutup
Perbedaan UU No. 22 tahun 1999 dengan UU No. 32 tahun
2004 adalah :
- Pada UU No. 22/99 pemda mempertanggungjawabkan tugasnya kepada DPRD. DPRD lebih tinggi dari pemda
- Pada UU No. 32 /2004 kedudukan DPRD dan Pemda sama, keduanya disebut sebagai penyelenggara daerah
Keberadaan negara tidak mungkin dinafikan dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara. Negara diperlukan jika ingin tetap mewujudkan harmonisasi
kehidupan rakyat. Perwujudan kontrak sosial yang dilembagakan dengan
kehadiran negara membawa implikasi pada kerelaan individu-individu warga negara
untuk diatur oleh negara. Dengan kata lain, negara berdaulat atas
kekuasaannya dihadapan rakyatnya. Namun persoalannya, siapa yang dapat
menjamin bahwa kekuasaan negara digunakan untuk kepentingan rakyatnya.
Dalam kondisi transisi ke demokrasi, memang diperlukan negara kuat.
Apalagi dalam kondisi masyarakat Indonesia yang plural. Transisi
demokrasi yang sedang berlangsung melalui pelaksanaan otonomi daerah saat ini
sudah memberi gambaran bagaimana demokrasi tersebut dipahami oleh rakyat
Indonesia. Paling tidak ketika UU No. 22 tahun 1999 dilaksanakan negara
pada kondisi pasif (lemah), akibatnya terjadi konflik di banyak daerah.
Dapat disimpulkan bahwa berlakunya UU No. 32 tahun 2004 menggantikan UU No. 22
tahun 1999 ialah bukti nyata keinginan pusat untuk kembali mengendalikan daerah
melalui penguatan peranan negara dalam proses demokrasi di tingkat lokal.
Daftar Pustaka.
Agung, Ide
Anak Agung Gde, 1983. Renville. Jakarta: Sinar Harapan.
Bahan, Syaafroedin,
“ Nasionalisme dan Demokrasi”, makalah Kongres Nasional Sejarah Tahun
1996, Jakarta.
Bochari,
M.Sanggupri, “Otonomi Daerah dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia sejak
Kemerdekaan Hingga Orde Baru”, makalah Kongres Nasional Sejarah Tahun
1996, Jakarta.
Culla, Adi
Suryadi, “Otonomi Daerah dalam Tinjauan Politik”, dalam Usahawan No. 04
Th. XXIX, April 2000.
Wasistiono,
Sadu. 2005. Desentralisasi dan otonomi daerah masa reformasi (1999-2004).
Dalam Anonimous. Pasang Surut Otonomi Daerah: Sketsa perjalanan 100 tahun.
Hal. 155-196. Jakarta: Yayasan TIFA.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar