Selasa, 15 November 2011

hukum kesehatan

PENGERTIAN HUKUM KESEHATAN (HEALTH LAW)
hukum kesehatan (Health Law) menurut:
1. Van Der Mijn: Hukum Kesehatan diratikan sebagai hukum yang berhubungan langsung dengan pemeliharaan kesehatan, meliputi: penerapan perangkat hukum perdata, pidana dan tata usaha negara.
2. Leenen: Hukum kesehatan sebagai keseluruhan aktivitas yuridis dan peraturan hukum di bidang kesehatan serta studi ilmiahnya.

Secara ringkas hukum kesehatan adalah:
a. Kumpulan peraturan yang mengatur tetang hal-hal yang berkaitan dengan kesehatan
b. Seperangkat kaidah yang mengatur seluruh aspek yang berkaitan dengan upaya dan pemeliharaan di bidang kesehatan.
c. rangkaian peraturan perundang-undangan dalam bidang kesehatan yang mengatur pelayanan medik dan sarana medik

Pelayanan medik: upaya pelayanan kesehatan yang melembaga, berdasarkan fungsi sosial di bidang pelayanan kesehatan perorangan bagi individu dan keluarga.
Sarana medik: meliputi rumah sakit (umum/khusus), klinik spesialis, rumah/klinik bersalin, poliklinik atau balai pengobatan dan sarana lain yang ditetapkan oleh menteri kesehatan.
Kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa, dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomis.
Tenaga kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan atau keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang unjuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan.
Sarana kesehatan adalah tempat yang digunakan untuk menyelenggarakan upaya kesehatan.
Kesehatan matra adalah upaya kesehatan yang dilakukan untuk meningkatkan kemampuan fisik dan mental guna menyesuaikan diri terhadap lingkungan yang berubah secara bermakna baik lingkungan darat, udara, angkasa, maupun air.
Perbedaan hukum kesehatan (Health Law) dan hukum kedokteran (medical law): hanya terletak pada ruang lingkupnya saja
Ruang lingkup hukum kesehatan meliputi semua aspek yang berkaitan dengan kesehatan (yaitu kesehatan badaniah, rohaniah dan sosial secara keseluruhan)
Ruang lingkup hukum kedokteran hanya pada masalah-masalah yang berkaitan dengan profesi kedokteran. Oleh karena masalah kedokteran juga termasuk di dalam ruang lingkup kesehatan, maka sebenarnya hukum kedokteran adalah bagian dari hukum kesehatan.

Latar Belakang disusunnya peraturan perundang-undnagan di bidang pelayanan kesehatan, adalah: karena adanya kebutuhan
1. pengaturan pemberian jasa keahlian
2. tingkat kualitas keahlian tenaga kesehatan
3. keterarahan
4. pengendalian biaya
5. kebebasan warga masyarakat untuk menentukan kepentingannya serta identifikasi kewajiban pemerintah
6. perlindungan hukum pasien
7. perlindungan hukum tenaga kesehatan
8. perlindungan hukum pihak ketiga
9. perlindungan hukum bagi kepentingan umum

FUNGSI HUKUM KESEHATAN
Fungsi hukum kesehatan adalah:
1. menjaga ketertiban di dalam masyarakat. Meskipun hanya mengatur tata kehidupan di dalam sub sektor yang kecil tetapi keberadaannya dapat memberi sumbangan yang besar bagi ketertiban masyarakat secara keseluruhan
2. menyelesaikan sengketa yang timbul di dalam masyarakat (khususnya di bidang kesehatan). Benturan antara kepentingan individu dengan kepentingan masyarakat
3. merekayasa masyarakat (social engineering). Jika masyarakat menghalang-halangi dokter untuk melakukan pertolongan terhadap penjahat yang luka-luka karena tembakan, maka tindakan tersebut sebenarnya keliru dan perlu diluruskan.
Contoh lain: mengenai pandangan masyarakat yang menganggap doktrer sebagai dewa yang tidak dapat berbuat salah. Pandangan ini juga salah, mengingat dokter adalah manusia biasa yang dapat melakukan kesalahan di dalam menjalankan profesinya, sehingga ia perlu dihukum jika perbuatannya memang pantas untuk dihukum.
Keberadaan Hukum Kesehatan di sini tidak saja perlu untuk meluruskan sikap dan pandangan masyarakat, tetapi juga sikap dan pandangan kelompok dokter yang sering merasa tidak senang jika berhadapan dengan proses peradilan.

RUANG LINGKUP HUKUM KESEHATAN
Pasal 1 butir (1) Undang-undang Nomor 23 tahun 1992 tentgang kesehatan menyatakan yang disebut sehat adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa, dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomis.
Menurut Leenen, masalah kesehatan dikelompokkan dalam 15 kelompok: (Pasal 11 UUK)
1. kesehatan keluarga
2. perbaikan gizi
3. pengemanan makanan dan minuman
4. kesehatan lingkungan
5. kesehatan kerja
6. kesehatan jiwa
7. pemberantasan penyakit
8. penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan
9. penyuluhan kesehatan
10. pengamanan sediaan farmasi dan alat kesehatan
11. pengamanan zat adiktif
12. kesehatan sekolah
13. kesehatan olah raga
14. pengobatan tradisional
15. kesehatan matra

hukum kesehatan di Indonesia belum seluruhnya memenuhi runag lingkup yang ideal, sehingga yang diperlukan adalah:
1. melakukan inventarisasi dan analisis terhadap perundang-undangan yang sudah ada untuk dikaji sudah cukup atau belum.
2. perlu dilakukan penyuluhan tidak hanya terbatas kepada tenaga kesehatan saja tetapi juga kalangan penagak hukum dan masyarakat
3. perlu dilakukan identifikasi yang tepat bagi pengaturan masalah-masalah kesehatan guna pembentukan perundang-undangan yang benar.

SUMBER HUKUM KESEHATAN
Hukum Kesehatan tidak hanya bersumber pada hukum tertulis saja tetapi juga yurisprudensi, traktat, Konvensi, doktrin, konsensus dan pendapat para ahli hukum maupun kedokteran.
Hukum tertulis, traktat, Konvensi atau yurisprudensi, mempunyai kekuatan mengikat (the binding authority), tetapi doktrin, konsensus atau pendapat para ahli tidak mempunyai kekuatan mengikat, tetapi dapat dijadikan pertimbangan oleh hakim dalam melaksanakan kewenangannya, yaitu menemukan hukum baru.

SUMBER-SUMBER HUKUM
Zevenbergen mengartikan sumber hukum adalah sumber terjadinya hukum; sumber yang menimbulkan hukum. Sedangkan Achmad Ali, sumber hukum adalah tempat di mana kita dapat menemukan hukum.
Sumber hukum dapat dibedakan ke dalam :
a. Sumber hukum materiil, adalah faktor-faktor yang turut menentukan isi hukum. Misalnya, hubungan sosial/kemasyarakatan, kondisi atau struktur ekonomi, hubungan kekuatan politik, pandangan keagamaan, kesusilaan dsb.
b. Sumber hukum formal, merupakan tempat atau sumber dari mana suatu peraturan memperoleh kekuatan hukum; melihat sumber hukum dari segi bentuknya.

Yang termasuk sumber hukum formal, adalah :
1. Undang-undang (UU);
2. Kebiasaan;
3. Yurisprudensi;
4. Traktat (Perjanjian antar negara);
5. Perjanjian;
6. Doktrin.

ad.1. Undang-undang.
Undang-undang ialah peraturan negara yang dibentuk oleh alat perlengkapan negara yang berwenang, dan mengikat masyarakat. UU di sini identik dengan hukum tertulis (Ius scripta) sebagai lawan dari hukum yang tidak tertulis. (Ius non scripta). Istilah tertulis tidak bisa diaertikan secara harafiah, tetapi dirumuskan secara tertulis oleh pembentuk hukum khusus (speciali rechtsvormende organen).
UU dapat dibedakan dalam arti :
- UU dalam arti formal, yaitu keputusan penguasa yang dilihat dari bentuk dan cara terjadinya, sehingga disebut UU. Jadi merupakan ketetapan penguasa yang memperoleh sebutan UU karena cara pembentukannya. Di Indonesia UU dalam arti formal dibentuk oleh Presiden dengan persetujuan DPR (pasal 5 ayat 1 UUD’45).
- UU dalam arti materiil, yaitu keputusan atau ketetapan penguasa, yang dilihat dari isinya dinamai UU dan mengikat semua orang secara umum.
ad.2. Kebiasaan (custom).
Kebiasaan adalah perbuatan manusia mengenai hal tertentu yang dilakukan berulang-ulang. Kebiasaan ini kemudian mempunyai kekuatan normatif, kekuatan mengikat. Kebiasaan biasa disebut dengan istilah adat, yang berasal dari bahasa Arab yang maksudnya kebiasaan. Adat istiadat merupakan kaidah sosial yang sudah sejak lama ada dan merupakan tradisi yang mengatur tata kehidupan masyarakat tertentu. Dari adat kebiasaan itu dapat menimbulkan adanya hukum adat.
Prof.Dr. Sunaryati Hartono, SH, tidak sependapat bahwa hukum kebiasaan itu disamakan dengan hukum adat, dengan mengatakan :
“Apakah sudah benar dan tepat pemahaman sementara sarjana hukum kita sekarang ini untuk menyamakan saja, Hukum Kebiasaan dengan hukum Adat ? Karena di negara kita sudah berkembang hukum kebiasaan dalam arti yang lebih luas, seperti hukum kebiasaan yang dikembangkan di kalangan eksekutif (Administrasi Negara), di Pengadilan, hukum kebiasaan dikalangan profesi hukum (notaris dan pengacara), khususnya dalam bidang hukum kontrak, hukum dagang (hukum bisnis) dan hukum ekonomi pada umumnya”.
Prof. Ronny Hanitijo Soemitro, SH dan Prof.Dr.Satjipto Rahardjo, SH, memberikan 3 unsur agar kebiasaan dapat diterima dalam masyarakat, yaitu :
a. Syarat kelayakan, pantas atau masuk akal. Kebiasaan yang yang tidak memenuhi syarat harus ditinggalkan. Ini berarti bahwa otoritas kebiasaan adalah tidak mutlak tetapi kondisional, tergantung dari kesesuaiannya pada ukuran keadilan dan kemanfaatan umum;
b. Pengakuan akan kebenarannya. Ini berarti bahwa kebiasaan itu hendaknya diikuti secara terbuka dalam masyarakat, tanpa mendasarkan pada bantuan kekuatan di belakangnya dan tanpa persetujuan dari dikehendaki oleh mereka yang kepentingannya dikenal oleh praktek dari kebiasaan tersebut. Persyaratan ini tercermin dalam bentuk norma yang oleh pemakainya harus tidak dengan kekuatan, tidak secara diam-diam, juga tidak karena dikehendaki.
c. Mempunyai latar belakang sejarah yang tidak dapat dikenali lagi mulainya. Kebiasaan adalah bukan praktek yang baru tumbuh kemarin dulu atau beberapa tahun yang lalu, tetapi telah menjadi mapan karena dibentuk oleh waktu yang panjang.
Ad.3. Yurisprudensi.
Adalah keputusan hakim/ pengadilan terhadap persoalan tertentu, yang menjadi dasar bagi hakim-hakim yang lain dalam memutuskan perkara, sehingga keputusan hakim itu menjadi keputusan hakim yang tetap.
Ad.4. Perjanjian.
Perjanjian merupakan salah satu sumber hukum karena perjanjian yang telah dibuat oleh kedua belah pihak (para pihak) mengikat para pihak itu sebagai undang-undang. Hal ini diatur dalam pasal 1338 ayat 1 KUH Perdata.
Ada 3 asas yang berlaku dalam perjanjian, yaitu :
1. Asas konsensualisme (kesepakatan), yaitu perjanjian itu telah terjadi (sah dan mengikat) apabila telah terjadi kesepakatan antara para pihak yang mengadakan perjanjian.
2. Asas kebebasan berkontrak, artinya seseorang bebas untuk mengadakan perjanjian, bebas menentukan bentuk perjanjian, bebas menentukan isi perjanjian dan dengan siapa (subyek hukum) mana ia mengadakan perjanjian, asal tidak bertentangan dengan kesusilaan, ketertiban umum dan undang-undang.
3. Asas Pacta Sunt Servanda, adalah perjanjian yang telah dibuat oleh para pihak (telah disepakati) berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya.
Ad.5. Traktat (Perjanjian Antarnegara)
Dalam pasal 11 UUD 1945, menyatakan bahwa Presiden dengan persetujuan DPR menyatakan perang, membuat perdamaian dan membuat perjanjian dengan negara lain. Perjanjian antaranegara yang sudah disahkan berlaku dan mengikat negara peserta, termasuk warga negaranya masing-masing.
Untuk itu suatu traktat untuk bias menjadi sumber hukum (formal) harus disetujui oleh DPR terlebih dahulu, kemudian baru di RATIFIKASI oleh Presiden dan setelah itu baru berlaku mengikat terhadap negara peserta dan warganegaranya.
Traktat yang memerlukan persetujuan DPR adalah traktat yang mengandung materi :
1. Soal-soal Politik atau dapat mempengaruhi haluan politik luar negeri, seperti perjanjian tentang perubahan wilayah.
2. Soal-soal perjanjian kerjasama ekonomi seperti hutang luar negeri.
3. Soal-soal yang menurut system perundang-undangan Ri harus diatur dengan Undang-undang, seperti Kewarganegaraan.
Ad.6. Doktrin.
Adalah pendapat para sarjana hukum terkemuka yang besar pengaruhnya bagi pengadilan (hakim) dalam mengambil keputusannya. Doktrin untuk dapat menjadi salah satu sumber hukum (formal) harus telah menjelma menjadi keputusan hakim.

SEJARAH HUKUM KESEHATAN
1. pada awalnya masyarakat menganggap penyakit sebagai misteri, sehingga tidak ada seorangpun yang dapat menjelaskan secara benar tentang mengapa suatu penyakit menyerang seseorang dan tidak menyerang lainnya.
2. pemahaman yang berkembang selalu dikaitkan dengan kekuatan yang bersifat supranatural.
3. penyakit dianggap sebagai hukuman Tuhan atas orang-orang yang yang melanggar hukumNya atau disebabkan oleh perbuatan roh-roh jahat yang berperang melawan dewa pelindung manusia.
4. pengobatannya hanya bisa dilakukan oleh para pendeta atau pemuka agama melalui do’a atau upacara pengorbanan
5. pada masa itu profesi kedokteran menjadi monopoli kaum pendeta, oleh karena itu mereka merupakan kelompok yang tertutup, yang mengajarkan ilmu kesehatan hanya di kalangan mereka sendiri serta merekrtu muridnya dari kalangan atas.
6. memiliki kewenangan untuk membuat undang-undang, karena dipercayai sebagai wakil Tuhan untuk membuat undang-undang di muka bumi.
7. undang-undang yang mereka buat memberi ancaman hukuman yang berat, misalnya hukuman potong tangan bagi seseorang yang melakukan pekerjaan dokter dengan menggunakan metode yang menyimpang dari buku yang ditulis sebelumnya, sehingga orang enggan memasuki profesi ini.
8. Mesir pada tahun 2000 SM tidak hanya maju di bidang kedokteran tetapi juga memiliki hukum kesehatan.
9. konsep pelayanan kesehatan sudah mulai dikembangkan dimana penderita/psien tidak ditarik biaya oleh petugas kesehatan yang dibiayai oleh masyarakat.
10. peraturan ketat diberlakukan bagi pengobatan yang bersifat eksperimen
11. tidak ada hukuman bagi dokter atas kegagalannya selama buku standar diikuti.
12. profesi kedokteran masih di dominasi kaum kasta pendeta dan bau mistik tetap saja mewarnai kedokteran
13. sebenarnya ilmu kedokteran sudah maju di Babylonia (Raja Hammurabi 2200 SM) dimana praktek pembedahan sudah mulai dikembangkan oleh para dokter, dan sudah diatur tentang sistem imbalan jasa dokter, status pasien, besar bayarannya. (dari sini lah Hukum Kesehatan berasal, bukan dari Mesir)
14. dalam Kode Hammurabi diatur ketentuan tentang kelalaian dokter beserta daftar hukumannya, mulai dari hukuman denda sampai hukuman yang mengerikan. Dan pula ketentuan yang mengharuskan dokter mengganti budak yang mati akibat kelalian dokter ketika menangani budak tersebut.
15. salah satu filosof yunani HIPPOCRATES (bapak ilmu kedokteran modern) telah berhasil menyusun landasan bagi sumpah dokter serta etika kedokteran, yaitu:
a. adanya pemikiran untuk melindungi masyarakat dari penipuan dan praktek kedokteran yang bersifat coba-coba
b. adanya keharusan dokter untuk berusaha semaksimal mungkin bagi kesembuhan pasien serta adanya larangan untuk melakukan hal-hal yang dapat merugikannya.
c. Adanya penghormatan terhadap makhluk insani melalui pelarangan terhadap euthanasia dan aborsi
d. Menekankan hubungan terapetik sebagai hubungan di mana dokter dilarang mengambil keuntungan
e. Adanya keharusan memegang teguh rahasia kedokteran bagi setiap dokter.
16. abad 20 an telah terjadi perubahan sosial yang sangat besar, pintu pendidikan bagi profesi kedokteran telah terbuka lebar dan dibuka di mana-mana, kemajuan di bidang kedokteran menjadi sangat pesat, sehingga perlu dibatasi dan dikendalikan oleh perangkat hukum untuk mengontrol profesi kedokteran.
Hukum dan etika berfungsi sebagai alat untuk menilai perilaku manusia, obyek hukum lebih menitik beratkan pada perbuatan lahir, sedang etika batin, tujuan hukum adalah untuk kedamaian lahiriah, etika untuk kesempurnaan manusia, sanksi hukum bersifat memaksa, etika berupa pengucilan dari masyarakat.

Pertemuan II
29-03-2007

PENGERTIAN DAN DEFINISI HUKUM
Prof. Mr. Dr. L.J. van Appeldoorn dalam bukunya “Inleiding tot de studie van het Nederlands Recht”, yang diterjemahkan oleh Oetarid Sadino, SH., Pengantar Ilmu Hukum, menyebutkan bahwa adalah tidak mungkin memberikan suatu definisi tentang apakah yang disebut hukum itu. Definisi tentang hukum, adalah sangat sulit untuk dibuat, karena tidak mungkin untuk mengadakannya yang sesuai dengan kenyataan.
Sehingga Dr. W. L. G. Lemaire (mantan guru besar UI) dalam bukunya “Het Recht in Indonesia” menuliskan sbb: banyaknya segi dan luasnya isi hukum itu, tidak memungkinkan perumusan hukum dalam suatu definisi tentang apakah sebenarnya hukum itu).
Namun tidak berarti bahwa, lalu tidak perlu ada definisi atau batasan tentang hukum. Beberapa definisi tentang hukum:
1. Drs. E. Utrecht, SH., Hukum adalah himpunan peraturan (perintah dan larangan), yang mengurus tata-tertib suatu masyarakat dan karena itu harus ditaati oleh masyarakat itu.
2. J. C. T. Simorangkir, SH., hukum adalah peraturan yang bersifat memaksa, yang menentukan tingkah laku manusia dalam lingkungan masyarakat, dan terhadap pelanggaran aturan tersebut dapat dikenai sanksi berupa hukuman tertentu.
3. Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, SH., hukum dilihat sebagai fenomena sosial budaya yang riil dan fungsionil dalam masyarakat. Dalam hal ini hukum lebih dilihat sebagai pola-pola perilaku sosial yang terlembagakan, eksis sebagai variabel sosial empirik.

Unsur-unsur, Ciri-ciri dan Sifat dari Hukum
a. Unsur-unsur Hukum.
- peraturan mengenai tingkah laku manusia dalam masyarakat
- diadakan oleh badan resmi yang berwajib
- bersifat memaksa
- ada sanksi terhadap pelanggaran aturan
b. Ciri-ciri Hukum
- berisi perintah dan larangan;
- bersifat memaksa (harus ditaati).
c. Sifat Hukum
- mengatur dan memaksa

Peran hukum
- sebagai “as a tool of social control” dalam arti berperan sebagai alat untuk mempertahankan stabilitas masyarakat, atau berperan untuk mempertahankan apa yang tetap dan diterima di dalam masyarakat.
- berperan sebagai “as a tool of social engineering” (sebagai alat untuk merubah masyarakat), disini hukum berperan untuk mengadakan perubahan di dalam masyarakat. Prof. Mochtar Kusuma Atmadja, SH, menyatakan “sebagai sarana pembaharuan masyarakat, hukum bertugas sebagai penyalur kegiatan manusia ke arah yang dikehendaki oleh pembangunan”.

Tujuan hukum
- Kepastian Hukum
- Keadilan.

ASAS BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG (4 ASAS)
1. UU tidak berlaku surut;
Artinya UU itu mulai mempunyai kekuatan mengikat sejak tanggal diundangkan, sehingga segala peristiwa dan perbuatan hukum yang dilakukan sebelum berlakunya suatu peraturan perundang-undangan, tidak bisa dikenai aturan yang baru diberlakukan.
2. Lex Posteriori Derogat Legi Priori.
Artinya UU yang berlaku kemudian membatalkan UU yang terdahulu, dalam hal mengatur obyek yang sama.
Contoh:
- UU No. 2 2002 mencabut UU Kepolisian Negara RI No. 28 tahun 1997.

3. Lex Superior derogat Legi Inferiori.
Artinya suatu peraturan yang derajatnya lebih rendah (tidak sederajat), dikesampingkan oleh peraturan yang derajatnya lebih tinggi dalam hal mengatur obyek yang sama dan saling bertentangan. Atau uu yang dibuat oleh penguasa yang lebih tinggi, mempunyai derajat yang lebih tinggi.
4. Lex Specialis Derogat Legi Generali.
Artinya suatu peraturan perundang-undangan yang khusus, menyampingkan aturan yang bersifat umum.
- Pasal 45 KUHP batasan umur anak adalah 16 tahun sedangkan masalah anak juga diatur dalam UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan anak Pasal 1 ayat (1) batasannya adalah 18 tahun dan belum pernah kawin. (KUH Perdata Pasal 330 adalah 21 tahun)
Syarat-syarat berlakunya UU.
UU agar dapat berlaku harus memenuhi-syarat-syarat.
UU berlaku sejak tanggal diundangkan oleh Menteri/Sekretaris Negara dan dimuat dalam Lembaran Negara.
Jika tidak ditentukan tanggal mulai berlakunya, maka untuk Jawa dan Madura mulai berlaku setelah 30 hari sesudah diundangkan dalam Lembaran Negara, sedangkan untuk daerah lainnya baru berlaku sesudah 100 hari setelah pengundangan dalam L.N.
Setelah persyaratan itu dipenuhi, maka berlakulah suatu fictie dalam hukum : “Setiap orang dianggap telah mengetahui adanya sesuatu UU”. Hal itu berarti bahwa jika ada seorang yang melanggar UU tersebut, ia tidak diperkenankan membela atau membebaskan diri dengan alasan bahwa :”seseorang itu tidak tahu menahu adanya UU itu”.

Berakhirnya suatu uu
a. jangka waktu berlakunya sudah lampau
b. keadaan atau hal berlakunya uu itu sudah tidak ada lagi
c. uu itu dengan tegas dicabut oleh instansi yang membuat
d. telah ada uu yang baru yang sisinya bertentangan dengan yang dulu berlaku.
Lembaran Negara: suatu Lembaran (kertas) tempat mengundangkan (mengumumkan) semua peraturan negara dan pemerintah agar sah berlaku.
Tambahan Lembaran Negara: Penjelasan daripada suatu uu

MACAM-MACAM NORMA (KAIDAH)
Norma/kaidah: ketentuan2 tentang baik buruk perilaku manusia dalam pergaulan hidupnya. Atau pedoman/patokan atau ukuran untuk berperilaku atau bersikap tindak dalam hidup.
Ada 4 norma /kaedah dalam masyarakat yaitu : norma kesopanan, norma kesusilaan, norma agama dan norma hukum.
1. Norma/Kaidah Agama
peraturan yang berisi perintah, larang dan anjuran yang datangnya dari Tuhan. Para pemeluk memandang bahwa peraturan tsb sebagai tuntunan dan petunjuk ke arah jalan yang benar.
Isi norma agama tsb pada umumnya terdiri dari 3 hubungan yang saling berkaitan:
a. peraturan yang memuat hubungan antara manusia dengan Tuhan (secara vertikal)
b. peraturan yang memuat hubungan antara manusia dengan sesama manusia (secara horisontal)peraturan yang memuat hubungan antara manusia dengan alam sekitarnya.

2. Kaidah kesopanan
Peraturan hidup yang timbul dari pergaulan sekelompok manusia. Peraturan itu diikuti dan ditaati sebagai pedoman yang mengatur tingkah laku manusia terhadap manusia yang ada disekitarnya. Norma kesopanan dapat dibentuk oleh masyarakat, artinya masyarakat berdasarkan kesadaran dan kemauannya dapat menentukan apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan seseorang dalam masyarakat. Misalnya:
- Orang muda harus menghormati orang yang lebih tua.
- Murid harus menghargai dan mengormati gurunya.
- Berilah tempat kepada terlebih dahulu kepada wanita di bis, dll. (terutama wanita hamil, tua, membawa bayi).
Norma kesopanan tidak mempunyai lingkungan pengaruh yang luas dibanding dengan norma kesusilaan dan agama. Artinya hanya berlaku bagi bagi masyarakat tertentu saja dan bersifat khusus.

3. Kaidah kesusilaan
Peraturan hidup yang dianggap sebagai suara hati sanubari manusia. Oleh karena itu agar manusia menjadi makhluk sempurna, maka salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah mematuhi dan mentaati peraturan yang bersumber dari hati sanubari.
Hendaklah berlaku jujur
Hendaklah engkau berbuat baik sesamamu manusia
Jangan berbuat jahat.

4. Norma/Kaidah hukum:
Peraturan yang dibuat secara resmi oleh negara yang mengikat setiap orang dan berlakunya dapat dipaksakan oleh aparat negara. misalnya: Pasal 362 KUHP, barangsiapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagaian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk memiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama 5 tahun.
Hukum Perdata, Pasal 1471 KUH Perdata “jual beli barang orang lain adalah batal”. Maksudnya apabila terjadi perselisihan mengenai jual beli tersebut sebagaimana dimaksud uu, maka negara dapat memaksakan pembatalan tsb agar pihak yang berselisih bersedia mematuhi (mentaati).

Kesimpulannya:
1. kaidah agama, kesusilaan dan kesopanan bertujuan untuk membina ketertiban di dalam kehidupan manusia, tetapi ketiga norma tsb belum cukup memberi jaminan untuk menjaga ketertiban dalam masyarakat.
2. ketiga norma tersebut tidak mempunyai sanksi yang tegas.
- Pelanggaran norma agama diancam dengan hukuman dari Tuhan, tapi berlakunya diakhirat.
- Pelanggaran norma kesopanan mengakibatkan celaan atau pengasingan dari lingkungan masyarakat.
- Pelanggaran norma kesusilaan mengakibatkan perasaan cemas dan kesal kepada si pelanggar.
3. si pelanggar tidak terikat kepada jenis peraturan hidup ketiga norma tsb, mereka bebas untuk berbuat sesukanya. Sikap demikian akan membahayakan masyarakat, oleh karena itu diperlukan norma lain (hukum) yang mempunyai sifat memaksa dan sanksi yang tegas.

PERTEMUAN III
TANGGAL 5 APRIL 2007

TUJUAN HUKUM KESEHATAN
Tujuannya Pasal 3 adalah meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang optimal

AZAS HUKUM KESEHATAN
1. Asas perikemanusiaan yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa
berarti bahwa penyelenggaraan kesehatan harus dilandasi atas perikemanusiaan yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa dengan tidak membeda-bedakan golongan, agama, dan bangsa;
2. Asas manfaat
berarti memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kemanusiaan dan perikehidupan yang sehat bagi setiap warga negara;
3. Asas usaha bersama dan kekeluargaan
berarti bahwa penyelenggaraan kesehatan dilaksanakan melalui kegiatan yang dilakukan oleh seluruh lapisan masyarakat dan dijiwai oleh semangat kekeluargaan;
4. Asas adil dan merata
berarti bahwa penyelenggaraan kesehatan harus dapat memberikan pelayanan yang adil dan merata kepada segenap lapisan masyarakat dengan biaya yang terjangkau oleh masyarakat;
5. Asas perikehidupan dalam keseimbangan
berarti bahwa penyelenggaraan kesehatan harus dilaksanakan seimbang antara kepentingan individu dan masyarakat, antara fisik dan mental, antara materiel dan spiritual;
6. Asas kepercayaan pada kemampuan dan kekuatan sendiri
berarti bahwa penyelenggaraan kesehatan harus berlandaskan pada kepercayaan akan kemampuan dan kekuatan sendiri dengan memanfaatkan potensi nasional seluas-luasnya.

HAK DAN KEWAJIBAN
Setiap undang-undang selalu mengatur hak dan kewajiban, baik yang dimiliki oleh pemerintah maupun warganya, demikian juga uu kesehatan.
Hak dan kewajiban yang dimiliki setiap warga berdasarkan Pasal 4 dan 5 UUK adalah:
1. setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh derajat kesehatan yang optimal.
2. setiap orang berkewajiban ikut serta dalam pemeliharaan dan peningkatan derajat kesehatan perseorangan, keluarga dan lingkungannya.
Sedangkan pemerintah mempunyai tugas dan tanggung jawab sbb:
1. mengatur, membina dan mengawasi penyelenggaraan upaya kesehatan.
2. menyelenggarakan upaya kesehatan yang merata dan terjangkau masyarakat
3. menggerakkan peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan dan pembiayaan kesehatan dengan memperhatikan fungsi sosial.
4. bertanggung jawab meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.

UPAYA KESEHATAN
Upaya kesehatan guna mewujudkan derajat kesehatan yang optimal bagi masyarakat meliputi:
1. upaya peningkatan kesehatan (promotif)
2. upaya pencegahan penyakit ( preventif)
3. upaya penyembuhan penyakit (kuratif)
4. upaya pemulihan kesehatan (rehabilitatif)
keempat upaya tersebut dilaksanakan secara menyeluruh, terpadu dan berkesinambungan.

HAL-HAL PENTING DARI UUK
1. adanya payung bagi tindakan aborsi atas indikasi medik
sebagaimana diketahui bahwa tindakan medik dalam bentuk pengguguran kandungan dengan alasan apapun dilarang karena bertentangan dengan norma agama, kesusilaan, dan hukum. Namun dalam keadaan darurat untuk menyelamatkan jiwa ibu dapat dilakukan aborsi.
Aborsi atas indikasi medik tersebut dapat dilakukan dengan syarat:
a. adanya kondisi yang menyebabkan wanita hamil berada dalam keadaan bahaya maut jika tidak dilakukan aborsi.
b. Sebelumnya harus meminta pertimbangan lebih dahulu dari tim ahli yang terdiri atas ahli medik, agama, hukum, dan psikologi.
c. Harus ada informed consent dari wanita yang bersangkutan. Jika wanita ybs dalam keadaan tidak sadar atau tidak dapat memberikan persetujuannya, maka informed consent dapat diminta dari suami atau keluarganya.
d. Pelaksanaan aborsi harus dilakukan oleh dokter ahli kandungan dan kebidanan.
e. Tempat aborsi adalah di sarana kesehatan yang memiliki tenaga dan fasilitas yang memadai untuk kepentingan tersebut dan telah ditunjuk oleh pemerintah.

2. penyembuhan dan pemulihan kesehatan dengan transplantasi
upaya penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan dapat dilakukan dengan memanfaatkan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang transplantasi. Meskipun belum diatur secara lengkap tetapi beberapa pembatasan telah dikemukakan dalam UUK, al:
a. transplantasi organ/jaringan hanya boleh dilakukan dengan kemanusiaan. Tidak dibenarkan dilakukan dengan tujuan komersial.
b. Pelaksanaannya hanya boleh dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu
c. Tempat pelaksanaan ialah di sarana kesehatan yang memiliki persyaratan ketenagaan dan fasilitas
d. Pengambilan organ/jaringan harus memperhatikan kesehatan donor
e. Harus ada persetujuan donor dan ahli waris atau keluarganya

3. Dimungkinkannya melakukan upaya kehamilan di luar cara alami
Upaya kehamilan untuk memperoleh keturunan di luar cara alami dengan memanfaatkan teknologi bayi tabung dapat dilakukan sebagai upaya terakhir dengan syarat-syarat yang sangat ketat, yaitu:
a. hanya boleh dilakukan terhadap pasangan nikah (suami isteri)
b. harus menggunakan sperma suami dan ovum isteri
c. embrio yang dihasilkan hanya boleh ditanamkan ke dalam rahim isteri.
d. Pelaksanaannya hanya di sarana kesehatan yang memenuhi persyaratan ketenagaan dan fasilitas yang memadai untuk itu dan telah ditunjuk oleh pemerintah
e. Dilakukan oleh tenaga kesehatan yang memiliki keahlian dan kewenangan untuk itu.
Dengan adanya syarat tersebut maka upaya kehamilan dengan teknologi bayi tabung tidak boleh menggunakan donor sperma atau ovum, donor embrio, dan ibu tumpang. (ttg kehamilan dg menggunakan teknologi cloning tidak disinggung dlm UUK)

4. diakuinya hak pasien untuk menentukan nasibnya sendiri
pengakuan atas hak pasien untuk menentukan nasibnya sendiri yang diwujudkan dalam bentuk informed consent merupakan refleksi bahwa HAM juga dijadikan acuan bagi kebijakan di bidang kesehatan. Dengan adanya pengakuan tersebut maka pasien berhak menentukan apakah ia akan menerima atau menolak tindakan medik.
Mengenai masalah imunisasi, yang sebetulnya amat oenting bagi upaya meningkatkan kesehatan masyarakat tidak disebut dalam UUK, yaitu termasuk wajib atau sukarela.

5. dibolehkannya melakukan pengobatan tradisional
dengan dibolehkannya melakukan pengibatan tradisional berarti sistem yang dianut bukan sistem monopli kedokteran, artinya orang boleh melakukan praktek pengobatan tradisional, yaitu metode pengobatan yang mengacu pada pengalaman turun temurun, baik yang asli maupun dari luar negeri.
Kebijakan seperti ini memang patut dihargai, sebab masyarakat memang punya hak untuk menentukan, metode mana yang menurutnya baik untuk dipilih. Meskipun demikian pemerintah punya kewajiban dan sekaligus kewenangan untuk melakukan pengawasan dan pembinaan agar dapat dipertanggungjawabkan manfaat dan keamanannya sehingga tidak merugikan masyarakat.

6. dibentuknya majelis disiplin tenaga kesehatan
untuk memberikan perlindungan yang seimbang antara tenaga kesehatan dan penerima layanan kesehatan, maka perlu dibentuk Majelis Disiplin Tenaga Kesehatan, yang akan menentukan ada tidaknya kesalahan atau kelalaian yang dilakukan oleh tenaga kesehatan dalam rangka memberikan layanan. Majelis terdiri atas ahli psikologi, sosiologi, agama dan ahli hukum yang sekaligus bertindak sebagai ketua. Hukuman yang dapat diterapkan adalah hukuman administratif berupa pencabutan izin untuk jangka waktu ttt atau hukukman lain sesuai dengan kesalahan dan kelalaiannya.

7. adanya payung bagi Program KB
sebelum ada UUK banyak tenaga kesehatan merasa ragu terhadap program KB, sebab meskipun secara materiil tidak lagi dianggap sebagai tindak pidana namun secara formil masih. Dengan adanya UUK, maka secara formil tindakan pengaturan terhadap kelahiran dalam rangka menciptakan keluarga yang sehat dan harmonis tidak lagi mrpkn tindak pidana.

8. ditetapkannya hukuman pidana yang yang sangat berat (Pasal 80-86)
bisanya dalam uu yang mengatur hal yang khusus (lex specialis) diatur juga ketentuan pidananya, demikian juga dalam UUK. Hukumannya mencapai 15 tahun penjara disertai denda 500 juta rupiah.

HUBUNGAN DOKTER PASIEN
Hubungan antara dokter dan pasien dalam ilmu kedokteran umumnya berlangsung sebagai hubungan biomedis aktif-pasif. Dalam hubungan tersebut rupanya hanya terlihat superioritas dokter terhadap pasien dalam bidang ilmu biomedis; hanya ada kegiatan pihak dokter sedangkan pasien tetap pasif. Hubungan ini berat sebelah dan tidak sempurna, karena merupakan suatu pelaksanaan wewenang oleh yang satu terhadap lainnya. Oleh karena hubungan dokter-pasien merupakan hubungan antar manusia, lebih dikehendaki hubungan yang mendekati persamaan hak antar manusia.
Jadi hubungan dokter yang semula bersifat paternalistik akan bergeser menjadi hubungan yang dilaksanakan dengan saling mengisi dan saling ketergantungan antara kedua belah pihak yang di tandai dengan suatu kegiatan aktif yang saling mempengaruhi. Dokter dan pasien akan berhubungan lebih sempurna sebagai ‘partner’.

Sebenamya pola dasar hubungan dokter dan pasien, terutama berdasarkan keadaan sosial budaya dan penyakit pasien dapat dibedakan dalam tiga pola hubungan, yaitu:
1. Activity – passivity.
Pola hubungan orangtua-anak seperti ini merupakan pola klasik sejak profesi kedokteran mulai mengenal kode etik, abad ke 5 S.M. Di sini dokter seolah-olah dapat sepenuhnya melaksanakan ilmunya tanpa campur tangan pasien.
Biasanya hubungan ini berlaku pada pasien yang keselamatan jiwanya terancam, atau sedang tidak sadar, atau menderita gangguan mental berat.
2. Guidance – Cooperation.
Hubungan membimbing-kerjasama, seperti hainya orangtua dengan remaja. Pola ini ditemukan bila keadaan pasien tidak terlalu berat misalnya penyakit infeksi baru atau penyakit akut lainnya. Meskipun sakit, pasien tetap sadar dan memiliki perasaan serta kemauan sendiri. la berusaha mencari pertolongan pengobatan dan bersedia bekerjasama. Walau pun dokter rnengetahui lebih banyak, ia tidak semata-rna ta menjalankan kekuasaan, namun meng harapkan kerjasama pasien yang diwujudkan dengan menuruti nasihat atau anjuran dokter.
3. Mutual participation.
Filosofi pola ini berdasarkan pemikiran bahwa setiap manusia memiliki martabat dan hak yang sarna. Pola ini terjadi pada mereka yang ingin memelihara kesehatannya seperti medical check up atau pada pasien penyakit kronis. Pasien secara sadar dan aktif berperan dalam pengobatan terhadap dirinya. Hal ini tidak dapat diterapkan pada pasien dengan latar belakang pendidikan dan sosial yang rendah, juga pada anak atau pasien dengan gangguan mental tertentu.

Hubungan dokter dan pasien, secara hukum umumnya terjadi melalui suatu perjanjian atau kontrak. Di mulai dengan tanya jawab (anarnnesis) antara dokter dan pasien, kemudian diikuti dengan pemeriksaan fisik, akhirnya dokter rnenegakkan suatu diagnosis. Diagnosis ini dapat merupakan suatu ‘working diagnosis’ atau diagnosis sementara, bisa juga merupakan diagnosis yang definitif. Setelah itu dokter biasanya merencanakan suatu terapi dengan memberikan resep obat atau suntikan atau operasi atau tindakan lain dan disertai nasihat-nasihat yang perlu diikuti agar kesembuhan lebih segera dicapai oleh pasien. Dalam proses pelaksanaan hubungan dokter pasien tersebut, sejak tanya jawab sampai dengan Perencanaan terapi, dokter melakukan pencatatan dalam suatu Medical Records (Rekam Medis). Pembuatan rekam medis ini merupakan kewajiban dokter sesuai dengan dipenuhinya standar profesi medis. Dalam upaya menegakkan diagnosis atau melaksanakan terapi, dokter biasanya melakukan suatu tindakan medik. Tindakan medik tersebut ada kalanya atau sering dirasa menyakitkan atau menimbulkan rasa tidak menyenangkan. Secara material, suatu tindakan medis itu sifatnya tidak bertentangan dengan hukum apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1. mempunyai indikasi medis, untuk mencapai suatu tujuan yang konkrit.
2. dilakukan menurut aturan-aturan yang berlaku di dalam ilmu kedokteran.
kedua syarat ini dapat juga disebut seba bertindak secara lege artis.
3. harus sudah mendapat persetujuan dahulu dari pasien.

Secara yuridis sering dipermasalahkan apakah tindakan medis itu dapat dimasukkan dalam pengertian penganiayaan. Akan tetapi dengan dipenuhinya ketiga syarat tersebut di atas hal ini menjadi jelas. Sebenarnya kualifikasi yuridis mengenai tindakan medis tidak hanya mempunyai arti bagi hukum pidana saja, melainkan juga bagi hukum perdata dan hukum administratif.
Dalam hukum administratif, masalahnya berkenaan antara lain dengan kewenangan yuridis untuk melaku tindakan medis. Dokter yang berpraktek harus mempunyai izin praktek yang sah.
Ditinjau segi hukum perdata, tindakan medis merupakan pelaksanaan suatu perikatan (perjanjian) antara dokter dan pasien. Apabila tidak terpenuhinya syarat suatu perikatan, misalnya pada pasien tidak sadar maka keadaan ini bisa dikaitkan dengan K U H Perdata pasal 1354 yaitu yang mengatur “zaakwaarneming’atau perwakilan sukarela, yaitu suatu sikap tindak yang pada dasar nya merupakan pengambil-alihan peranan orang lain yang sebenarnya bukan merupakan kewajiban si pengambil-alih itu, namun tetap melahirkan tanggung jawab yang harus dipikul oleh si pengambil-alih tersebut atas segala sikap tindak yang dilakukannya.
PERTEMUAN IV
TANGGAL 18 APRIL 2007

Dalam ilmu hukum dikenal dua jenis perjanji¬an, yaitu
1. resultaatsverbintenis, yang berdasarkan hasil kerja, artinya suatu perjanjian yang akan memberikan resultaat atau hasil yang nyata sesuai dengan apa yang diperjanjikan.
2. inspanningsverbintenis, yang berdasar¬kan usaha yang maksimal (perjanjian upaya atau usaha maksimal), artinya kedua belah pihak berjanji atau sepakat untuk berdaya upaya secara maksimal untuk mewujudkan apa yang diperjanjikan
Pada umumnya, secara hukum hubungan dok¬ter-pasien merupakan suatu hubungan ikhtiar atau usaha maksimal. Dokter tidak menjanjikan kepastian kesembuhan, akan tetapi berikhtiar se¬kuatnya agar pasien sembuh. Meskipun demikian, mungkin ada hubungan hasil kerja pada keadaan-¬keadaan tertentu seperti pembuatan gigi palsu atau anggota badan palsu, oleh dokter gigi atau ahli orthopedi.
Perbedaan antara kedua jenis perjanjian terse¬but secara yuridis terletak pada beban pembukti¬annya. Pada inspanningsverbintenis, penggugat yang harus mengajukan bukti-bukti bahwa ter¬dapat kelalaian pada pihak dokter atau rumah sakit sebagai tergugat. Sebaliknya pada resulta¬atverbintenis, beban pembuktian terletak pada dokter.
Menurut Subekti suatu perjanjian adalah suatu peristiwa bahwa seseorang berjanji kepada orang lain atau antara dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.
Untuk sahnya perjanjian terapetik, sebagaimana lazimnya ketentuan mengenai perjanjian, maka harus dipenuhi syarat-syarat (unsur-unsur) yang ditentukan dalam Pasal 1320 K U H Perdata, sebagai berikut:

1 . Kesepakatan dari pihak-pihak yang bersangkutan,
2, Kecakapan untuk membuat suatu perikat¬an,
3. mengenai Suatu hal tertentu, dan
4. Suatu sebab yang halal/diperbolehkan.

Dari keempat syarat tersebut, syarat 1 dan 2 merupakan syarat subyektif yang harus dipenuhi, yaitu para pihak harus sepakat, dan kesepakatan itu dilakukan oleh pihak-pihak yang cakap untuk membuat suatu perjanjian (persyaratan dari subjek yang me¬lakukan kontrak medis), sedangkan syarat 3 dan 4 adalah tentang objek kontrak medis tersebut. Apabila dilihat terutama dari persyaratan subyektifnya, maka perjanjian medis mempunyai keunik¬an tersendiri yang berbeda dengan perjanjian pada umumnya.
Ad. 1. Kesepakatan
Dalam kesepakatan harus memenujhi kriteria Pasal 1321 KUH Perdata, “tiada sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan, atau diperolehnya dengan paksaan atau penipuan”. Jadi secara yuridis bahwa yang dimaksud dengan kesepakatan adalah tidak adanya kekhilafan, paksaan, atau penipuan dari para pihak yang mengikatkan dirinya. Sepakat ini merupakan persetujuan yang dilakukan oleh kedua belah pihak, dimana kedua belah pihak mempunyai persesuaian kehendak yang dalam transaksi terapetik pihak pasien setuju untuk diobati oleh dokter, dan dokter pun setuju untuk mengobati pasiennya. Agar kesepakatan ini sah menurut hukum, maka di dalam kesepakatan ini para pihak harus sadar (tidak ada kekhilafan) terhadap kesepakatan yang dibuat, tidak boleh ada paksaan dari salah satu pihak, dan tidak boleh ada penipuan di dalamnya. Untuk itulah diperlukan adanya informed consent (persetujuan tindakan medik)
Dalam perjanjian medis, tidak seperti halnya perjanjian biasa, terdapat hal-hal khusus. Di sini pasien merupakan pihak yang meminta pertolongan sehingga relatif lemah kedudukannya dibandingkan dokter. Oleh karena itu syarat ini menjelma dalam bentuk “informed consent”, suatu hak pasien untuk mengizinkan dilakukannya suatu tindakan medis. Secara yuridis “informed consent’ merupakan suatu kehendak sepi¬hak, yaitu dari pihak pasien. Jadi karena surat persetujuan tersebut tidak bersifat sua¬tu persetujuan yang murni, dokter tidak harus turut menandatanganinya. Di sam¬ping itu pihak pasien dapat membatalkan pernyataan setujunya setiap saat sebelum tindakan medis dilakukan. Padahal menurut K U H Perdata pasal 1320, suatu perjanjian hanya dapat dibatalkan atas persetujuan kedua belah pihak; pembatalan sepihak da¬pat mengakibatkan timbulnya gugatan ganti kerugian.

Ad. 2. Kecakapan
Pasal 1329 KUH Perdata: setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatan-perikatan, jika ia oleh uu tidak dinyatakan tak cakap.
Seseorang dikatakan cakap-hukum apabila ia pria atau wanita telah berumur minimal 21 tahun, atau bagi pria apabila belum berumur 21 tahun tetapi telah meni¬kah. Pasal 1330 K U H Perdata, menyata¬kan bahwa seseorang yang tidak cakap un¬tuk mernbuat perjanjian adalah
a. orang yang belum dewasa; ( Pasal 330 K U H Perdata adalah belum ber¬umur 21 tahun dan belum menikah)
b. mereka yang ditaurh dibawah pengampuan (Berada dibawah pengampuan, yaitu orang yang telah berusia 21 tahun tetapi dianggap tidak mampu karena ada gangguan mental)
c. orang-orang perempuan, dalam hal yang ditetapkan oleh undang-undang, dan (dalarn hal ini masih berstatus istri) pada umumnya semua orang kepada siapa uu telah melarang mern¬buat perjanjian-perjanjian tertentu.

Oleh karena perjanjian medis mem¬punyai sifat khusus maka tidak semua ke¬tentuan hukum perdata di atas dapat dite¬rapkan. Peraturan Menteri Kesehatan RI. No.: 585/MEN-KES/PER/IX/1989 Pasal 8 ayat (2) yang dimaksud dewasa adalah telah berumur 21 tahun atau telah menikah. Jadi untuk orang yang belum berusia 21 tahun dan belum menikah maka transaksi terapetik harus ditandatangani oleh ortu atau walinya yang merupakan pihak yang berhak memberikan persetujuannya. Hal ini perlu diper¬timbangkan dalam prakteknya. Dokter ti¬dak mungkin menolak mengobati pasien yang belum berusia 21 tahun yang datang sendirian ke tempat prakteknya. Untuk mengatasi hal tersebut ketentuan hukum adat yang rne¬nyatakan bahwa seseorang dianggap de¬wasa bila ia telah ‘kuat gawe’ (bekerja), mungkin dapat dipergunakan. (orang dewasa yang tidak cakap seperti orang gila, tidak sadar maka diperlukan peresetujuan dari pengampunya) sedang anak dibwah umur dari wali/ortunya.
Pasal 108 K U H Perdata, menyebut¬kan bahwa seorang istri, memerlukan izin tertulis dari suaminya untuk membuat suatu perjanjian. Akan tetapi surat edaran Mahkamah Agung No 3/1963 tanggal 4 Agus¬tus 1963 menyatakan bahwa tidak adanya wewenang seorang istri untuk melakukan perbuatan hukum dan untuk menghadap di pengadilan tanpa izin atau tanpa bantuan suaminya, tidak berlaku lagi. Jadi wanita yang berstatus istri yang sah diberi kebebas¬an untuk membuat perjanjian.

Ad. 3. Hal tertentu
Dalam Pasal 1333 KUH Perdata: suatu perjanjian harus mempunyai sebagai pokok suatu barang yang paling sedikit ditentukan jenisnya. Tidaklah menjadi halangan bahwa jumlah barang tidak tentu, asal saja junlah itu terkemudian dapat ditentukan atau dihitung.
Jadi yang dimaksud dengan suatu hal tertentu adalah objek dari perjanjian. Kata barang merupakan terjemahan dari zaak (dapat diartikan urusan), sehingga urusan tersebut harus dapat ditentukan atau dijelaskan.
Jadi apabila dikaitkan dengan perjanjian terapetik, maka urusan yang dimaksud adalah sesuatu yang perlu ditangani, yaitu berupa upaya penyembuhan. Upaya penyembuhan tersebut harus dapat dijelaskan karena dalam pelaksanaannya diperlukan kerjasama yang didasarkan sikap saling percaya antara dokter dan pasien. Jadi jika dokter tidak dapat menentukan dan menjelaskan atau memberikan informasi mengenai upaya medik yang akan dilakukannya, maka berarti syarat ini tidak terpenuhi.
Ketentuan mengenai hal tertentu ini, menyangkut objek hukum atau benda nya (dalam hal ini jasa) yang perlu ditegaskan ciri-cirinya. Dalam suatu perjanjian medis umumnya objeknya adalah “usaha penyem¬buhan”, di mana dokter/R.S, harus berusa¬ha semaksimal mungkin untuk menyem¬buhkan penyakit pasien. Oleh karena itu secara yuridis, kontrak terapeutik itu umum¬nya termasuk jenis “inspanningsverbin¬tenis”, di mana dokter tidak memberikan jaminan akan pasti berhasil menyembuhkan penyakit tersebut.

Ad. 4. Sebab yang halal
Sebab yang halal adalah sebab yang tidak dilarang uu, kesusilaan, atau ketertiban umum. Sedangkan yang dimaksud sebab adalah tujuannya.
Dalam pengertian ini, pada objek hukum yang meniadi pokok perjanjian tersebut harus melekat hak yang pasti dan diperbolehkan menurut hukum. Dengan perkataan lain objek hukum tersebut harus memiliki sebab yang diizinkan. K U H Perdata pasal 1337 menyatakan bahwa suatu sebab adalah terlarang apabila bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, kesusilaan atau ketertiban umum. Misalnya dokter dilarang melakukan abortus provocatus crirninalis menurut K U H P pasal 344.
Dalam Pasal 1335 KUH Perdata: suatu perjanjian tanpa sebab, atau telah dibuat karena suatu sebab yang palsu atau terlarang, tidak mempunyai kekuatan.

Apabila objek perjanjian medis ditinjau dari sudut pandang ilmu kedokteran maka kita dapat merincinya melalui upaya yang umum dilakukan dalam suatu pelayanan kesehatan atau pelayanan medis. Tahapan pelayanan kesehatan bisa dimulai dari usaha promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif. Jadi variasi objek perjanjian medis dapat merupakan
1. Medical check-up
Upaya ini bertujuan untuk mengetahui apakah seseorang berada dalam kondisi sehat atau cenderung mengalami suatu kelainan dalam taraf dini. Hal ini berkaitan dengan usaha promotif yang bertujuan memelihara atau meningkatkan kesehatan secara umum.

2. Imunisasi
Tindakan ini ditujukan untuk mencegah terhadap suatu penyakit tertentu bagi seseorang yang mempunyai risiko terkena. Misalnya anggota keluarga dari pasien yang menderita Hepatitis B, dianjurkan se¬kali untuk mendapatkan vaksinasi Hepati¬tis B. Usaha preventif ini bersifat spesifik untuk mencegah penularan penyakit Hepatitis B.

3. Keluarga Berencana
Pasangan suami istri yang ingin mencegah kelahiran atau ingin mempunyai keturunan, secara umum mereka berada dalam keadaan sehat. Usaha ini bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kebaha¬giaan keluarga secara umum.

4. Usaha penyembuhan penyakit
Sifat tindakan di sini adalah kuratif, Untuk menyembuhkan penyakit yang akut atau relatif belum terlalu lama di derita.

5. Meringankan penderitaan
Umumnya dokter memberikan obat-obat yang simptomatis sifatnya, hanya menghilangkan gejala saja, karena penyebab Penyakitnya belum dapat diatasi. Misalnya obat-obat penghilang rasa nyeri.

6 . Memperpanjang hidup
Seperti halnya ad.5. , di sini pun penyakit pasien belum dapat diatasi sepenuhnya sehingga sewaktu-waktu perlu dilakukan tindakan medis tertentu. Misalnya pada pasien gagal ginjal yang memerlukan ‘cuci darah’.
7. Rehabilitasi
Tindakan medis yang dilakukan untuk re¬habilitasi umumnya dilakukan terhadap pasien yang cacat akibat kelainan bawaan atau penyakit yang di dapat seperti luka bakar atau trauma. Ada pula mereka yang sebenamya sehat tetapi merasa kurang cantik sehingga menginginkan dilakukan suatu bedah kosmetik. Tindakan ini yang kadang menimbulkan masalah apabila ha¬rapan yang didambakan untuk memper¬oleh kecantikan yang dijanjikan tidak ter¬penuhi.

Secara yuridis semua upaya tindakan medis tersebut di atas dapat menjadi objek hukum yang sah. Akan tetapi bentuk perjanjian medisnya harus jelas apakah inspanningsverbintenis atau suatu resultaatsverbintenis. Hal ini penting dalam kaitamya dengan ‘beban pembuktian’ apabila ter¬jadi suatu gugatan hukum. Akan tetapi apabila dokter bekerja sesuai dengan standar profesinya dan tidak ada unsur kelalaian serta hubungan dok¬ter-pasien merupakan hubungan yang saling pe¬nuh pengertian, umumnya tidak akan ada perma¬salahan yang menyangkut jalur hukum.
Dengan demikian maka Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata: semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku bagi mereka yang membuatnya sebagai undang-undang. Oleh karena itu jika perjanjian terapetik telah memenuhi pasal 1320 KUH Perdata, maka semua kewajiban yang timbul mengikat baik dokter maupun pasien.
Pasal 1338 (2) perjanjian itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan yang oleh uu dinyatakan cukup untuk itu.

PERTEMUAN V
TANGGAL 10 MEI 2007

Menurut Subekti suatu Perjanjian adalah suatu peristiwa bahwa seseorang berjanji kepada orang lain atau antara dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. Untuk sahnya suatu perjanjian harus memenuhi syarat sebagaimana diatur dalain Pasal 1320 KUHPerdata yang unsur-unsurnya sebagai berikut:
1 . Adanya kesepakatan dari mereka yang saling mengikatkan dirinya (toestetning van degenen die zich verbinden
2. Adanya keeakapan untuk membuat suatu perikatan (de bekwaamheid om eene verbintenis aan te gaan);
3. Mengenai sesuatu hal tertentu (een bepaald onderwerp);
4. Suatu sebab yang diperholehkan (eene geoorloofdeoorzaak).

Unsur pertama dan kedua disebut sebagai Syarat subjektif, karena kedua unsur ini langsung menyangkut orang atau subjek yang rnembuat perjanjian. Apabila salah satu dari Syarat subjektif ini tidak dipenuhi, maka perjanjian tersebut atas Permohonan pihak yang bersangkutan dapat dibatalkan oleh hakim. Maksudnya perjanjian tersebut selama belum dibatalkan tetap berlaku, jadi harus ada putusan hakim untuk membatalkan pejanjian tersebut. Pembatalan mulai berlaku sejak putusan hakim memperoleh kekuatan hukum yang tetap jadi perjanjian itu batal tidak sejak semula atau sejak perjanjian itu dibuat.
Unsur ketiga dan keempat disebut unsur objektif, dikatakan demikian karena kedua unsur ini menyangkut Objek yang diperanjikan. Jika salah satu dari unsur ini tidak terpenuhi, perjanjian tersebut atas permohonan pihak yang bersangkutan atau secara ex officio dalam putusan hakim dapat dinyatakan batal demi hukum oleh hakim. Oleh karena perjanjian itu dinyatakan batal demi hukum, maka perjanjian tersebut dianggap tidak pemah ada. Jadi pembatalannya adalah sejak semula (ex tunc), konsekuensi hukumnya bagi para pihak, posisi kedua belah pihak dikembalikan pada posisi semula sebelum perjanjian itu dibuat.

KESALAHAN dan KELALAIAN DALAM PERJANJIAN TERAPETIK
Pengertian kesalahan diartikan secara umum, yaitu perbuatan yang secara objektif tidak patut dilakukan.
kesalahan dapat terjadi akibat:
1. kurangnya pengetahuan,
2. kurangnya pengalaman,
3. kurangnya pengertian, serta
4. mengabaikan suatu perbuatan yang seharusnya tidak dilakukan.
Apabila hal itu dilakukan oleh dokter, baik dengan sengaja maupun karena kelalaiannya dalam upaya memberikan perawatan atau pelayanan kesehatan kepada pasien, maka pasien atau keluarganya dapat minta pertanggungjawaban (responsibility) pada dokter yang bersangkutan. Bentuk pertanggungjawaban yang dimaksud di sini meliputi pertanggungjawaban perdata, pertanggungjawaban pidana, dan pertanggungjawaban hukum administrasi.
Dalam hukum perdata dikenal dua dasar hukum bagi tanggung gugat hukum (liability), yaitu:
1. Tanggung gugat berdasarkan wanprestasi atau cedera janji atau ingkar janji sebagaimana diatur dalarn Pasal 1239 KUHPerdata.
2. Tanggung gugat berdasarkan perbuatan melanggar hukum sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 1365 KUHPerdata.
Jika seorang dokter melakukan penyimpangan terhadap standar pelaksanaan profesi ini, secara bukum sang dokter dapat digugat melalui wanprestasi atau perbuatan melanggar hukum.

Ajaran mengenai wanprestasi atau cederajanji dalam hukum perdata dikatakan, bahwa seseorang dianggap melakukan wanprestasi apabila (Subekti, 1985 : 45):
1) tidak melakukan apa yang disepakati untuk dilakukan;
2) melakukan apa yang dijanjikan, tetapi terlambat;
3) melakukan apa yang dijanjikan, tetapi tidak sebagaimana yang diperjanjikan;
4) melakukan sesuatu yang menurut hakikat perjanjian tidak boleh dilakukan.

Dari keempat unsur tersebut yang paling erat kaitannya dengan kesalahan yang dilakukan oleh dokter adalah unsur ketiga, sebab dalam perjanjian terapeutik yang harus dipenuhi adalah upaya penyembuhan dengan kesungguhan. Dengan demikian apabila pasien atau keluarganya mengajukan gugatan berdasarkan wanprestasi, pasien harus membuktikan bahwa pelayanan kesehatan yang diterimanya tidak sesuai dengan kesepakatan yang dituangkan dalam informed consent atau dokter menggunakan obat secara keliru atau tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana mestinya.
Sedangkan untuk mengajukan gugatan terhadap rumah sakit, dokter, atau tenaga kesehatan lainnya dengan alasan berdasarkan Perbuatan melanggar hukum harus dipenuhi empat unsur berikut.
1. Adanya pemberian gaji atau honor tetap yang dibayar secara periodik kepada dokter atau tenaga kesehatan yang bersangkutan.
2. Majikan atau dokter mempunyai wewenang untuk rnemberikan instruksi yang harus ditaati oleh bawahannya.
3. Adanya wewenang untuk mengadakan pengawasan.
4. Ada kesalahan atau kelalaian yang diperbuat oleh dokter atau tenaga kesehatan lainnya, di mana kesalahan atau kelalaian tersebut menimbulkan kerugian bagi pasien.

Aspek negatif dari bentuk tanggung gugat dalam pelayanan kesehatan, adalah karena pasien mengalami kesulitan membuktikannya. Pada umumnya pasien tidak bisa membuktikan bahwa apa yang dideritanya, merupakan akibat dari kesalahan dan atau keialaian dokter dalam perawatan atau dalam pelayanan kesehatan. Kesulitan dalam Pembuktian ini karena pasien tidak memiliki pengetahuan yang cukup mengenai terapi dan diagnosa yang dialaminya atau yang dilakukan dokter kepadanya. Menyadari hal ini, dengan maksud untuk melindungi kepentingan hukum pasien yang dirugikan akibat Pelayanan kesehatan, beberapa sarjana mengusulkan diterapkannya pembuktian terbalik bagi kepentingan pasien.
Dengan demikian, dalam kaitannya dengan gugatan atas kesalahan atau keialaian yang dilakukan dokter, pasien harus mengajukan bukti-bukti untuk menguatkan dalil gugatannya. Berdasarkan alat-alat bukti inilah hakim mempertimbangkan apakah menerima atau menolak gugatan tersebut.

Hubungan antara dokter dengan pasien yang lahir dari transaksi terapeutik, selain menyangkut aspek hukum perdata juga menyangkut aspek hukum pidana. Aspek pidana baru timbul apabila dari pelayanan kesehatan yang dilakukan,,berakibat atau menyebabkan pasien mati atau menderita eacat sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 359, 360, dan 361 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Apabila hal ini terjadi maka sanksinya bukan hanya suatu ganti rugi yang berupa materi, akan tetapi juga dapat merupakan hukuman badan sebagaimana diatur dalam Pasal 10 KUHP.
Dasar untuk mempermasalahkan aspek pidananya, berawal dari hubungan keperdataan yang timbul antara dokter dengan pasien, yaitu berupa transaksi terapeutik sebagai upaya penyembuhan. Namun karena langkah yang diambil oleh dokter berupa terapi dalam usahanya memenuhi kewajiban itu, menimbulkan suatu kesalahan atau kelalaian yang berwujud suatu perbuatan yang diatur oleh hukum pidana, yaitu yang dapat berupa penganiayaan atau bahkan pembunuhan, baik yang disengaja maupun karena kelalaian, maka perbuatan itu harus dipertanggungjawabkan.
Secara teoretis mungkin mudah memberikan pengertian tentang kesalahan, di mana kesalahan menurut hukum pidana terdiri dari kesengajaan (dolus) dan kelalaian (culpa). Dalam praktiknya akan timbul, permasalahan tentang pengertian kesalahan ini, terutama yang menyangkut dengan kesalahan dan atau kelalaian dalam bidang pelayanan kesehatan. Kesulitan akan timbul untuk menentukan adanya suatu kelalaian karena dari semula perbuatan atau akibat yang timbul dalam suatu peristiwa tidak dikehendaki oleh pembuatnya. Pada hakikatnya kelalaian baru ada apabila dapat dibuktikan adanya kekurang¬hati-hatian.
Kesalahan dokter dalam melaksanakan tugasnya sebagian besar terjadi karena kelalaian, sedangkan kesengajaan jarang terjadi. Sebab apabila seorang dokter sengaja melakukan suatu kesalahan, hukuman yang akan diberikan kepadanya akan lebih berat. Dalam hukum pidana, untuk membuktikan adanya kelalaian dalam pelayanan kesehatan harus ada paling tidak empat unsur (Soekanto, 1987:157).
1. Ada kewajiban yang timbul karena adanya perjanjian;
2. Ada pelanggaran terhadap kewajiban, misainya dokter telah gagal bertindak sesuai nonna yang telah ditentukan diseba atau keialaian, contohnya perbuatan dokter yang standar perawatan bagi pasiennya.
3. Ada penyebab. Hubungan sebab akibat yang paling langsung dapat timbul dalam hubungan dokter dengan pasien, yailu perbuatan dokter timbul akibat yang merugikan pasien. Akan tetapi sebab yang tidak langsung pun dapat menjadikan sebab hukum, apabila sebab itu telah menimbulkan kerugian bagi pasien. Misalnya akibat dari pemakaian suatu obat yang diberikan dokter.
4. Timbul kerugian. Akibat dari perbuatan dalam hubungan dokter dengan pasien dapat timbul kerugian, baik yang bersifat langsung aupun tidak langsung. Kerugian itu dapat mengenai tubuh pasien sehingga menimbulkan rasa tidak enak.

Terhadap kesalahan dokter yang bersifat melanggar tata nilai surnpah atau kaidah etika profesi, pemeriksaan dan tindakan, dilakukan oleh organisasi Ikatan Dokter Indonesia (H)I), dan atau atasan langsung yang berwenang (yaitu pihak Departemen Kesehatan Republik Indo¬nesia). Pemeriksaan dibantu oleh perangkat Majelis Kode Etik Kedokteran (MKEK) atau Panitia Pertimbangan dan Pembinaan Etik Kedokteran (P3EK). Lembaga ini merupakan badan non-struktural Departemen Kesehatan yang dibentuk dengan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 5 54/Menkes/Per/Xll/ 1 982. Tugas lembaga ini memberi pertimbangan etik kedokteran kepada menteri kesehatan, menyelesaikan persoalan etik kedokteran dengan memberi pertimbangan dan usul kepada pejabat yang berwenang di bidang kesehatan. Dasar hukum yang digunakan adalah hukum disiplin dan atau hukum administrasi sesuai dengan peraturan yang terdapat dalam undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan menteri kesehatan, surat kepuu~ menteri kesehatan yang bersangkutan. Misalnya seorang dokter berbuat yang dapat dikualifikasikan melanggar sumpah dokter. setelah diadakan pemeriksaan dengan teliti dapat dijatuhi sanksi menurut Pasal 54 Ayat (1) UU No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan.
Hal yang sama juga dikemukakan oleh Poernomo (1 984: 76); unsur melawan hukum menjadi dasar bagi suatu tindak pidana, karena selain bertentangan dengan undang-undang, termasuk pula perbuatan yang bertentangan dengan hak seseorang atau kepatutan masyarakat.
Pengertian perbuatan melawan hukum seperti apa yang dikemu¬kakan oleh J.B. van Bemmelen (1 987 : 149 – 150):
1 . Bertentangan dengan ketelitian yang pantas dalam pergaulan masyarakat mengenai orang lain atau barang.
2. Bertentangan dengan kewajiban yang ditetapkan oleh undang-¬undang.
3. Tanpa hak atau wewenang sendiri.
4. Bertentangan dengan hak orang lain.
5. Bertentangan dengan hukum objektif

Dalam hukum pidana terdapat dua ajaran mengenai sifat melawan hukum, yakni: ajaran melawan hukum formal dan ajaran melawan hukun materiil. Menurut ajaran melawan hukum formal, suatu perbuatan telah dapat dipidana apabila perbuatan itu telah memenuhi semua unsur-unsur dari rumusan suatu tindak pidana (delik) atau telah cocok dengan rumusan pasal yang bersangkutan.
Pada ajaran melawan hukum materiil untuk dapat menjatuhkan pidana terhadap suatu perbuatan tidak cukup hanya dengan melihat: apakah perbuatan itu telah memenuhi rumusan pasal tertentu dalam KUHP, melainkan perbuatan itu juga harus dilihat secara materiil. Maksudnya apakah perbuatan itu bersifat melawan hukum secara sungguh-sungguh yaitu dilakukan dengan bertanggungjawab atau tidak.

kesalahan selalu ditujukan pada perbuatan yang tidak patut, Yaitu melakukan sesuatu yang seharusnya tidak dilakukan dan atau tidak melakukan sesuatu yang seharusnya mesti dilakukan. Mengenai apa yang dimaksud dengan kesalahan, menurut Simons: Kesalahan adalah keadaan psikis orang yang melakukan perbuatan dan hubungannya dengan perbuatan yang dilakukannya yang sedemikian rupa sehingga orang itu dapat dicela karena perbuatan tersebut.
Kesalahan berarti bukan hanya perbuatan yang dilakukan itu dinilainya secara objektif tidak patut akan tetapi juga dapat dicelakan kepada pelakunya karena perbuatan itu “dianggap” jahat. Antara perbuatan dan pelakunya selalu membawa celaan, oleh karenanya kesalahan itu juga dinamakan sebagai yang dapat dicelakan. Namun harus diingat bahwa sesuatu yang dapat dicelakan bukanlah merupakan inti dari suatu kesalahan melainkan merupakan akibat dari kesalahan itu. Bila hal ini dikembahkan pada asas “Tiada pidana tanpa kesalahan” berarti untuk dapat dijatuhi suatu pidana, disyaratkan bahwa orang tersebut telah berbuat yang tidak patut secara objektif dan perbuatan itu dapat dicelakan kepada pelakunya.

Menurut ketentuan yang diatur dalam hukum pidana bentuk-¬bentuk kesalahan terdiri dari berikut ini.
1. Kesengajaan, yang dapat dibagi menjadi:
a) kesengajaan dengan maksud, yakni di mana akibat dari perbuatan itu diharapkan timbul, atau agar peristiwa pidana itu sendiri terjadi
b) kesengajaan dengan kesadaran sebagai suatu keharusan atau kepastian bahwa akibat dari perbuatan itu sendiri akan terjadi, atau dengan kesadaran sebagai suatu kemungkinan saja.
c) kesengajaan bersyarat (dolus eventualis). Kesengajaan bersyarat di sini diartikan sebagai perbuatan yang diakukan dengan sengaja dan diketahui akibatnya, yaitu yang mengarah pada suatu kesadaran bahwa akibat yang dilarang kemungkinan besar terjadi.
Menurut Sudarto Kesengajaan bersyarat atau dolus eventualis ini disebutnya dengan teori “apa boleh buat” sebab di sini keadaan batin dari si pelaku mengalarni dua hal, yaitu:

1 ) akibat itu sebenamya tidak dikehendaki, bahkan ia benci atau takut akan kemungkinan timbulnya akibat tersebut;
2) akan tetapi meskipun ia tidak menghendakinya, namun apabila akibat atau keadaan itu timbul juga, apa boleh buat, keadaan itu harus diterima. Jadi berarti bahwa ia sadar akan risiko yang harus diterimanya. Maka di sini pun terdtpat suatu pertimbangan yang menimbulkan kesadaran yang sifatnya lebih dari sekadar suatu kemungkinan biasa saja. Sebab sengaja dalam dolus eventualis ini, juga mengandung unsur¬unsur mengetahui dan menghendaki, walaupun sifatnya sangat samar st;kali atau dapat dikatakan hampir tidak terlihat sama sekali.
2. Kealpaan, sebagaimana yang disebut dalam Pasal 359 KUHP.

kealpaan itu paling tidak memuat tiga unsur.
1. Pelaku berbuat lain dari apa yang seharusnya diperbuat menurut hukum tertulis maupun tidak tertulis, sehingga sebenarnya ia telah melakukan suatu perbuatan (termasuk tidak berbuat) yang melawan hukum.
2. Pelaku telah berlaku kurang hati-hati, ceroboh, dan kurang berpikir panjang.
3. Perbuatan pelaku itu dapat dicela, oleh karenanya pelaku harus bertanggung jawab atas akibat perbuatannya tersebut.

Berpedoman kepada unsur-unsur kealpaan tersebut, dapat dipahami bahwa kealpaan dalam pelayanan kesehatan mengandung pengertian normatif yang mudah dilihat, artinya perbuatan atau tindakan kealpaan itu selalu dapat diukur dengan syarat-syarat yang lebih dahulu sudah dipenuhi oleh seorang dokter. Ukuran normatifnya adalah bahwa tindakan dokter tersebut setidak-tidaknya sama dengan apa yang di¬harapkan dapat dilakukan teman sejawatnya dalarn situasi yang sama.
Dalam kepustakaan, disebutkan bahwa untuk menentukan adanya kesalahan yang mengakibatkan dipidananya seseorang harus dipenuhi empat unsur.
1. Terang melakukan perbuatan pidana, perbuatan itu bersifat melawan hukum.
2. Mampu bertanggungjawab.
3. Melakukan perbuatan tersebut dengan sengaja atau karena kealpaan.
4. Tidak adanya alasan pemaaf.

Jika dihubungkan dengan profesi dokter dalam pelayanan kesehatan timbul pertanyaan, apakah unsur kesalahan tersebut dapat diterapkan terhadap perbuatan yang dilakukaii oleh dokter? Untuk menjawab pertanyaan tersebut harus dilihat apakah kesalahan yang dilakukan oleh dokter, tedadi karena kurangnya pengetahuan, kurangnya pengalaman dan atau kurangnya kehati-hatian, padahal diketahui bahwa jika dilihat dari segi profesionalisme, seorang dokter dituntut untuk terus mengembangkan ilmunya. Di samping itu, kehati-hatian dan ketelitian seorang dokter dalam melakukan perawatan sangat menentukan, oleh karena itu unsur-unsur sebagaimana tersebut di atas dapat diterapkan.
Unsur (elemen) Delik Obyektif
Menurur Hall bahwa actus reus itu adalah bagian fisik dari delik, yaitu perbuatan yang dituduhkan. Suatu perbuatan fisik . jika Ibu X menembak dan membunuh Ibu T, perbuatannya adalah menarik picu senjata.
Elemen obyektif dari gambaran diatas adalah elemen delik yang berkaiatan dengan perbuatan (act, daad) dari pelaku delik, yang terdiri dari :
(1). Wujud perbutan (aktif, pasif), atau akibat yang kelihatan
(2). Perbuatan itu harus bersifat melawan hukum;
(3). Dalam melakukan perbuatan itu tidak ada Dasar Pembenar.
A.1. Wujud Perbuatan
Suatu delik dapat diwujudkan dengan kelakuan aktif ataupun kelakuan pasif, sesuai dengan uraian delik yang mensyaratkannya (Zainal Abidin, 1995 : 236). Missal delik pencurian biasa (Pasal 362 KUHP) wujud perbuatannya adalah mengambil barang orang lain sebagian atau seluruhnya. Misal lagi delik tidak memenuhi panggilan pengadilan sebagai saksi, ahli, juru bahasa (Pasal 224 KUHP). Jadi wujud perbuatan dimaksud adalah aktif atau pasif, meliputi jenis delik komisi, atau jenis delik omisi, atau delictum commissionis per ommissionem commissa, atau delik tidak mentaati larangan dilanjutkan dengan cara tidak berbuat.
A.2. Bersifat Melawan Hukum
Perbuatan yang disyaratkan untuk memenuhi elemen delik obyektif adalah bahwa dalam melakukan perbuatan itu harus ada elemen melawan hukum (wedderectelijkheids, unlawfull act, onrechtmatigedaad). Suatu perbuatan melawan hukum adalah perbuatan yang dilarang untuk dipatuhi, atau diperintahkan untuk tidak dilakukan seperti yang tercantum dalam aturan pidana.
Contoh : pada waktu ada bahaya banjir, A menolong seorang bayi yang hanyut terbawa air, bayi itu berhasil diselamatkan dan dipeliharanya dengan baik, sehingga suatu hari datanglah orangtua bayi itu kapada A untuk meminta kembali bayi tersebut. A tidak dapat menuntut ganti kerugian atas bayi itu kepada kadua orangtua bayi, sebab pada saat itu A melaksanakan perbuatan menurut hukum (zakwaarneming). Sebaliknya dalam bahaya banjir tersebut sementar orang menyelamatkan barang-barangnya, B berkesempatan untuk masuk rumah orang dan mengambil barang-barang berharga, maka perbuatan B adalah perbuatan yang dilarang oleh hukum yakni melakukan delik pencurian berkualifikasi (Pasal 363 KUHP).
Hukum Pidana membedakan sifat melawan hukum menjadi 2 (dua) macam arti utama, yaitu :
(1). Melawan hukum dalam arti formil; dan
(2). Melawan hukum dalam arti meteriil.
Zainal Abidin (1995 : 242) menjelaskan bahwa dikatakan formeel (sic) karena undang-undang pidana melarang atau memerintahkan perbuatan itu disertai ancaman sanksi kepada barang siapa yang melanggar atau mengabaikannya.
Disebut materiel (sic) oleh karena sekalipun suatu perbuatan telah sesuai dengan uraian di dalam undang-undang, masih harus diteliti tentang penilaian masyarakat apakah perbuatan itu memang tercela dan patut dipidana pembuatnya atau tidak tercela, ataupun dipandang sifatnya terlampau kurang celaannya sehingga pembuatnya tak perlu dijatuhi sanksi pidana, tetapi cukup dikenakan sanksi dalam kaidah hukum lain, atau kaidah sosial lain.
Arti perbuatan melawan hukum formil adalah unsur-unsur yang bersifat konstitutif, yang ada dalam setiap rumusan delik dalam aturan pidana tertulis, walaupun dalam kenyataanya tidak dituliskan dengan tugas bersifat melawan hukum. Dengan demikian dalam hal tidak dicantumkan berarti unsur melawan hukum diterima sebagai unsur kenmerk (diterima secara diam-diam, implicit). Melawan hukum formil lebih mementingkan kepastian hukum (rechtszekerheids) yang bersumber dari asas legalitas (principle of legality, legaliteit benginsel).
Arti perbuatan melawan hukum materiil adalah unsur yang berkaitan dengan asas culpabilitas (penentuan kesalahan pembuat delik), atau nilai keadilan hukum yang ada dalam masyarakat, dan tingkat kepatutan dan kewajaran.
Sudarto (1990 : 78) menjelaskan bahwa sifat melawan hukum materiil adalah suatu perbuatan itu melawan hukum atau tidak; tidak hanya yang terdapat dalm undang-undang (yang tertulis) saja, akan tetapi harus dilihat berlakunya asas-asas hukum yang tidak tertulis. Jadi menurut ajaran ini melawan hukum sama dengan bertentangan dengan hukum tertulis dan juga bertentangan dengan hukum yang tidak tertilis termasuk tata susila dan sebagainya.
A.3. Tidak Ada Dasar Pembenar (Rechtsvaadigingsgrond, fait justification)
Suatu perbuatan dikualifikasi sebagai telah terjadi delik, bila dalam perbuatan itu tidak terkandung Dasar Pembenar, sebagai bagian dari Elemen Delik Obyektif (actus reus).
Dimaksudkan dengan Dasar Pembenar adalah dasar yang menghilangkan sifat melawan hukum dari perbuatan yang sudah dilakukan pembuat delik. Artinya jika perbuatan itu mengandung dasar pembenar berarti salah satu unsur delik (elemen delik) obyektif tidak terpenuhi, yang mengakibatkan pelaku (pembuat) delik tidak dapat dikenakan pidana. Dalam KUHP terdapat beberapa jenis Dasar Pembenar, yaitu (1) Daya Paksa Relatif (vis compulsiva), (2) Pembelaan Terpaksa, (3) Melaksanakan Perintah Undang-Undang, dan (4) Melaksanakan Perintah Jabatan Yang Berwenang.
3.1 Daya Paksa relatif (vis compulsive)
Jenis Dasar Pembenar ini sebagaimana diatur dalam Pasal 48 KUHP, artinya seseorang melakukan sesuatu perbuatan karena pengaruh atau tekanan daya paksa yang sebenarnya masih dapat ditahan, atau masih berwujud alternatif tindakan tindak dipidana.
Contoh : A mengancam B (kasir bank), dengan meletakkan pistol di dada B untuk menyerahkan uang yang disimpan oleh B. B dapat menolak. B dapat berpikir dan menentukan kehendaknya, jadi tidak ada paksaan absolut. Memang ada paksaan, tetapi masih ada kesempatan bagi B untuk mempertimbangkan; apakah ia melnggar kewajibannya untuk menyimpan uang/ surat-surat berharga itu dan menyerahkannya kepada A; atau sebaliknya, ia tidak menyerahkan dan ditembak mati ole A. sifat dari daya paksa ini harus datang dari luar diri pembuat delik.
Di samping daya paksa relatif atau vis compulsive, atau disebut juga paksa dalam arti sempit; sebetulnya ada juga yang dinamakan “Keadaan Darurat, atau keadaan Terpaksa (noodtoestand)”. Noodtoestand ini terbagi dalam 3 (tiga) tipe keadaan darurat, yaitu :
(1). Benturan antara dua kepentingan hukum;
(2). Benturan antara kepentingan hukum dan kewajiban hukum;
(3). Benturan antara dua kewajiban hukum.
Contoh (1) :
Kasus Papan Carniades. Ada dua orang yang karena kapal tenggelam, dan untuk menyelamatkan diri berpegangan pada sebuah papan, padahal papan itu tidak mungkin dapat digunakan oleh dua orang. Bila keduanya berpegangan pada papan itu, maka keduanya pasti tenggelam. Salah seorang mendorong temannya sehingga mati tenggelam, dan yang satunya terhindari dari bahaya maut. Orang yang mendorong itu tidak dapat dipidana, karena dalam keadaan darurat.
Contoh (2) :
Kasus optician. Ada seorang pemilik took kacamata menjual kacamata kepada seoarang yang kacamatanya hilang, padahal waktu itu sudah saatnya took ditutup. Sebab jika tidak menutup took pada waktunya dituduh melanggar peraturan penutupan took. Sipembeli ternyata tanpa kacamata tidak dapat kembali ke rumahnya sebab tidak dapat mengendarai kendaraan atau berjalan sama sekali. Penjual kacamata (optician) tidak dapat dipidana dengan tuduhan melanggar aturan penutupan took, sebab bertindak dalam keadaan memaksa.
Contoh (3) :
Kasus Kesaksian Dua Pengadilan. Seorang dipanggil menjadi saksi pada dua pengadilan negeri yang berbeda, tetapi pada hari yang sama dan jam yang sama pula, terpaksa membatalkan salah satu panggilan pengadilan dan pergi memenuhi panggilan pengadilan yang satunya. Pengadilan yang tidak didatangi oleh saksi, tak dapat menuntut dan mengenakan pidana dengan tuduhan melanggar ketentuan Pasal 224 KUHP.
3.2 Pembelaan Terpaksa
Pembelaan terpaksa ini sebagaiman dimaksud dalam Pasal 49 ayat (1) KUHP, yang menegaskan bahwa “Tidak dapat dipidana seseorang yang melakukan perbuatan yang terpaksa dilakukan untuk membela diri sendiri atau orang lain; membela kehormatan kesusilaan atau harta benda sendiri atau orang lain terhadap serangan atau ancaman serangan yang sangat dekat saat itu yang melawan hukum”.
3.3 Melaksanakan Perintah undang-undang, jika termasuk dalam Dasar Pembenar, seperti dimaksud Pasal 50 KUHP yang menegaskan bahwa “Barangsiapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan undang-undang tidak dipidana”.
3.4 Melaksanakan perintah Jabatan Berwenang, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) KUHP, yang menegaskan bahwa “ Barangsiapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa yang berwenang, tidak dipidana”.
Unsur (Elemen) Delik Subyektif
Unsur (elemen) delik subyektif dalam Hukum Pidana Common Law dinamakan mens rea. Daniel Hall (1991 : 56) menjelaskan bahwa Mens rea adalah bagian dari sikap batin (sikap mental), bagian dari niat (pikiran) yang menjadi bagian pula dari pertanggungjawaban pidana.
Jadi Mensrea itu berkenaan dengan kesalahan dari pembuat delik (dader), sebab berkaitan dengan sikap batin yang jahat (criminal intent). Mens rea berkaitan pula dengan asas geen straf zonder schuld (Tiada pidana tanpa kesalahan). Didalam Hukum Pidana yang beraliran Anglo-saxon terkenal asas an act does not a person guality unless his mind is guality (satu perbuatan tidak menjadikan seseorang itu bersalah, terkecuali pikirannya yang salah).
Elemen Delik Subyektif atau unsur mens rea dari delik atau bagian dari pertanggungjawaban pidana yang menurut Zainal Abidin (1995 : 235) terdiri dari :
(1). Kemampuan bertanggungjawab (toerekeningsvatbaarheids);
(2). Kesalahan dalam arti luas, yang terdiri dari :
a). Dolus yang di bagi menjadi tiga jenis, yaitu :
1). Sengaja sebagai niat (oogmerk)
2). Sengaja sadar akan kepastian atau keharusan (zekerheidsbewustzijn);
3). Sengaja sadar akan kemungkinan (dolus eventualis, mogelijk-bewutstzijn).
b). Culpa, yang di bagi menjadi dua jenis, yaitu :
1). Culpa lata yang disadari;
2). Culpa lata yang tak disadari (lalai).
(3). Tidak ada dasar pemaaf.

Elemen delik subyektif terdiri dari :
(1). Kemampuan bertanggungjawab;
(2). Dilakukan dengan dolus dan culpa;

B.1. Kemampuan Bertanggungjawab (toerekeningsvarbaarheids)
KUHP tidak mengatur tentang kemampuan bertanggungjawab, yang diatur justru kebalikannya, yaitu ketidakmampuan bertanggungjawab (Pasal 44 KUHP). Ada yang mendefinisikan bahwa mampu bertanggungjawab adalah mampu untuk menginsyafi sifat melawan hukum dari perbuatan; dan sesuai keinsyafan itu mampu untuk menentukan khendaknya (Roeslan Saleh, 1983 : 80). Sementara itu Van hamel (Sudarto, 1990 : 93) menyatakan bahwa kemampuan bertanggungjawab adalah suatu keadaan normalitas psychis dan kematangan yang berwujud 3 (tiga) kemampuan berikut ini :
1). Mampu mengerti nilai dari akibat-akibat perbuatannya sendiri;
2). Mampu untuk menyadari bahwa perbuatannya itu menurut pandangan masyarakat tidak boleh dilakukan;
3). Mampu untuk menentukan kehendaknya atas perbuatannya itu.
Menurut Roeslan Saleh (1983 : 80) bahwa orang mampu bertanggungjawab apabila memenuhi 3 (tiga) syarat berikut :
1). Dapat menginsyafi makna yang senyatanya dari perbuatannya;
2). Dapat menginsyafi bahwa perbuatannya itu tidak dapat dipandang patut dalam pergaulan masyarakat;
3). Mampu untuk menentukan niat atau kehendaknya dalam melakukan perbuatan.
Ukuran sederhana yang dipakai adalah mengedepankan 2 (dua) factor kehendak. Akal bisa membedakan perbuatan yang boleh dan yang tidak boleh dilakukan. Kehendak bisa disesuaikan dengan keinsyafan atau kesadaran terhadap perbuatan yang boleh dan yang tidak boleh dilakukan seseorang. Contoh epilepsy, hysteria, psikhastemi. Hakim dianjurkan untuk tidak terpengaruh dengan hasil pemeriksaan psikiatri. Opini psikiatri adalah tetap dijadikan salah satu alat bukti (keterangan ahli), sesuai ketentuan Pasal 184 ayat (1) KUHAP.

B.2. Dolus dan Culpa
2.a. Dolus (opzet, intent)
Dolus dimaksud kesengajaan melakukan suatu delik. Dijelaskan dalam Memorie van Toelichting (M.v.T) bahwa sengaja adalah : “de (bewuste) richting van den will op een bepaald misdrijv”, yaitu kehendak yang disadari yang ditujukan melakukan kejahatan tertentu (Andi Hamzah, 1991 : 84).
Penentuan sengaja melakukan delik dikaji melalui 2 (dua) teori penentuan kesengajaan, yaitu teori willens en weten (menghendaki dan mengetahui atau membayangkan).
Moeljatno (1983 : 17) menjelaskan teori willens en weten sebagai berikut :
Dikehendaki dengan maksud segala kegiatan baik perbuatan persiapan, perbuatan pelaksanaan, dan hasil yang menjadi tujuan pelaku. Sedangkan teori pengetahuan; pelaku mengetahui akibat-akibat dari perbuatannya.
Missal delik pembunuhan, bahwa pelaku delik mulai mengasah pedangnya, menjaga korban masuk pintu rumah, mengayun pedang tepat pada leher korban, dan korban meninggal dunia. Contoh tersebut jelas terlihat bahwa perbuatan persiapan adalah mengasah pedang; perbuatan pelaksanaan berdiri dibalik pintu, menebas leher korban; akhirnya korban meninggal dunia adalah akibat yang diketahui dan dikehendaki oleh pelaku delik.
Hamzah (1991 : 99) berpendapat bahwa teori willens en weten sebagai berikut dalam kehendak dengan sendirinya sudah diliputi pengetahuan. Orang yang menghendaki sesuatu terlebih dahulu tentu harus tahu telah mempunyai pengetahuan tentang sesuatu itu. Tidak demikianlah dengan pengetahuan. Sesuatu yang diketahui oleh seseorang belum tentu juga dikehendaki olehnya. Hamzah sebetulnya lebih obyektif dan antisipatif dalam menerapkan teori willens en weten. Sebab antara keduanya (pengetahuan dan kehendak) tidak selalu bersesuaian atau bersamaan. Contoh dalam delik yang dilakukan dibawah ancaman (pengaruh daya paksa).
Penentuan sengaja melakukan delik dapat juga dipergunakan teori membayangkan (voorstelling theori) yang dipelopori oleh Frank. Hamzah (1991 : 85) menguraikan teori membayangkan dari Frank sebagai berikut :
Manusia tidak mungkin dapat menentukan atau menghendaki sesuatu akibat. Ia hanya dapat membayangkan, menginginkan, mengharapkan adanya suatu akibat.
Suatu gerakan otot seperti menembak dengan sengaja tidak selalu menimbulkan akibat tembakan dapat meleset atau tepat sasaran. Adalah menjadi sengaja jikalau suatu akibat (yang timbul karena suatu perbuatan) dibayangkan sebagai maksud (terhadap perbuatan itu), dan karena tindakan yang bersangkutan dilakukan sesuai dengan bayangan yang terlebih dahulu dibuat oleh pembuat delik.

Ada 3 (tiga) corak kesengajaan melakukan delik, yaitu :
1). Sengaja sebagai maksud (opzet als oogmerk);
2). Sengaja sadar akan keharusan atau kepastian (opzet bij zekerheids bewustzijn);
3). Sengaja sadar akan kemungkinan (opzet bij moogelijkbewustzijn) atau sering dikenal dengan sebutan dolus eventualis.
a.1) Opzet als Oogmerk (sengaja sebagai maksud)
Sengaja sebagai maksud melakukan delik adalah sengaja yang bercorak paling sederhana, yaitu perbuatan dan akibat seperti yang dikehendaki atau dibayangkan oleh pembuat delik bertujuan menimbulkan akibat yang dilarang. Pembuat delik menghendaki perbuatan dan akibat dari perbuatannya itu.
Contoh Badu menghendaki Amin meninggal dunia. Badu membidik pistolnya kea rah jantung Amin, kemudian melepaskan tembakan tepat mengena dada Amin, akibatnya Amin meninggal dunia. Kasus sederhana ini memperlihatkan bahwa kematian Amin dikehendaki Badu, dan Badu telah membayangkan, serta mengetahui bahwa tembakannya menyebabkan Amin meninggal dunia, sebab memang itulah tujuan yang ingin dicapai Badu.

a.2) Opzet bij Zekerheidsbewustzijn (sengaja sadar akan kepastian)
Sengaja bercorak kepastian atau keharusan adalah sengaja melakukan delik yang dapat diketahui dan dibayangkan meski tidak dikehendaki ada akibat lain yang menyertai tindakan pembuat delik.
Contoh Joni menembak Jalil yang sedang duduk dibalik kaca jendela (disebelah warung kopi dekat pasar Abepura). Joni tidak menghendaki kaca pecah, sebab kesempatan itu harus dipergunakan sebaik-baiknya. Akibat tembakan Joni kaca jendela warung kopi itu pecah, peluru Joni mengena kepala Jalil. Kasus ini memperlihatkan bahwa kaca jendela yang pecah merupakan suatu keharusan atau kepastian yang memang sengaja dilakukan oleh Joni.
Dalam corak sengaja kedua ini sebetulnya ada dua hal yang perlu dijadikan pegangan, yaitu :
(1). Ada akibat yang memang dituju oleh pembuat delik;
(2). Ada akibat yang tidak dikehendaki tapi akibat itu harus ada untuk mencapai akibat pertama

a.3) Opzet bij Moogelijkbewustzijn (sengaja sadar akan kemungkinan)
Corak kesengajaan melakukan delik yang ketiga adalah sengaja sadar akan kemungkinan, atau sering disebut dolus eventualis. Penjelasan terhadap corak kesengajaan yang ketiga ini didalam Hukum Pidana terkenal dengan teori Inkauf Nehmen.

Zainal Abidin (1995 : 293) menerjemahkan Inkauf Nehmen sebagai teori apa boleh buat, sebab resiko yang diketahui kemungkinan adanya itu (resiko) sungguh-sungguh timbul, di samping hal yang dimaksud, apa boleh buat pembuat delik berani memikul resiko yang tidak dikehendaki.
Zainal Abidin (1995) mengajukan dua syarat bagi kelengkapan teori inkauf nehmen, yaitu :
(a) Terdakwa (pembuat delik) mengetahui kemungkinan adanya akibat atau keadaan yang merupakan delik;
(b) Sikapnya terhadap kemungkinan itu andaikata sungguh timbul akibat, ialah apa boleh buat, dapat disetujui dan berani mengambil resiko.
Intinya bahwa keadaan tertentu yang kemungkinan dipikir atau dibayangkan terjadi dan memang benar terjadi.

Contoh klasik Kue Tart :
Kue tart beracun dikirim oleh X dengan maksud membunuh A. X mengetahui bahwa dan kemungkinan Istri A juga akan memakannya begitu pula anak-anak dari A. meski X tahu tetapi tetap saj kue tart beracun itu dikirim sebagai parsel hari raya dengan harapan hanya dimakan oleh A, jika istri A turut makan, maka tujuannya sudah terpenuhi. Ada sengaja sebagai maksud terhadap matinya A, dan sengaja sebagai kemungkinan terhadap matinya istri A. Sehingga tidak ada salahnya jika berpendapat bahwa kesengajaan sadar akan kemungkinan merupakan gabungan dari corak sengaja sebagai maksud dan sengaja sadar akan kepastian atau keharusan.
Sudarto (1990 : 106) juga mengajukan dua syarat tentang adanya Inkauf Nehmen, yaitu :
(1). Akibat itu sebenarnya tidak dikehendaki, bahkan ia benci atau takut akan kemungkinan timbulnya akibat itu;
(2). Akan tetapi meskipun ia tidak menhendakinya, namun apabila toh keadaan/ akibat itu timbul, apa boleh buat hal itu diterima juga, ini berarti ia berani memikul resiko.
Bila disimpulkan teori inkauf nehmen ini lebih disederhanakan dengan teori kemungkinan akibat tak tercegah.
Sebenarnya pembicaraan tentang kesengajaan melakukan delik ada juga yang membedakan antara :
(1). Kesengajaan berwarna (geklurd); dan
(2). Kesengajaan tak berwarna (kleurloos).
Geklurd mengisyaratkan bahwa pembuat delik harus tahu bahwa perbuatan yang dilakukan berkaitan dengan akibat yang melawan hukum (akibat yang dilarang). Sengaja ini dalam arti dolus molus (criminal intent, boos opzet), si pembuat delik sadar perbuatannya merupakan perbuatan yang tidak boleh dilakukan atau memang dilarang. Sengaja tak berwarna (kleurloos) disyaratkan bahwa pembuat delik cukup saja mengetahui perbuatannya itu sebagai perbuatan yang tidak boleh dilakukan (dilarang) tetapi tidak perlu tahu apakah bersifat malawan hukum ataukah tidak. Akan tetapi bentuk sengaja tak berwarna (kleurloos) ini dalam praktek masih sulit untuk membuktikannya, dan inilah sekaligus keberatan dari corak kesengajaan tak berwarna itu diterima.
Disamping bentuk sengaja melakukan delik diatas, dalam Hukum Pidana masih dikenal pula adanya dolus premeditatus dan dolus repentinus.
Dolus premeditatus terdapat dalam Pasal 340 KUHP (delik pembunuhan berencana), Pasal 353 KUHP (delik penganiayaan berencana), Pasal 355 KUHP (delik penganiayaan berat yang direncanakan lebih dahulu). Dolus premeditatus tersebut menyebabkan lahirnya pemberatan pidana. Menurut Memorie van Toelichting (M.v.T) bahwa rencana lebih dahulu disebut juga voorbedachterade mensyaratkan jangka waktu untukmenimbang dengan tenang. Untuk itu dipandang sudah cukup bila pembuat delik untuk melaksanakan kejahatan mempunyai waktu untuk memperhitungkan apa yang akan dilakukannya.
Satochid Kartanegara (tebit tanpa tahun, 332 enjelaskan bahwa dolus premeditatus berarti dengan tenang, yaitu ditetapkan dengan pikiran dan keadaan yang tenang. Ada pendapat yang menyatakan bahwa dolus premeditatus bukanlah bentuk atau corak kesengajaan, tetapi cara kesengajaan.
Dolus repentinus ialah kebalikan dari dolus premeditatus, yaitu sikap batin pembuat delik yang secara langsung timbul, missal karena naik pitam seketika, atau situasi kejiwaan yang menyebabkan pembuat delik terguncang hebat perasaannya lalu membunuh, mencuri, menganiaya dan sebagainya.

2.b. Culpa
Culpa adalah kebalikan dari sengaja melakukan delik. Culpa terbagi manjadi culpa lata dan culpa lepis (kelalaian yang sedemikian ringannya sehingga tidak menyebabkan seseorang dapat dipidana). Focus yang dibicarakan adalah berkaiatan dengan culpa lata (kelalaian yang besar, kesalahan berat). Bila dikatakan kesalahan, maksudnya ialah kesalahan dalam arti sempit yakni hanya merupakan terjemahan dari culpa, bukan kesalahan dalam arti luas yang mencakup kesengajaan.
Disamping pembagian culpa lata dan culpa lepis; didalam culpa lata sendiri terbagi dua yaitu antara culpa lata yang disadari dan culpa lata tak disadari. Pembagian culpa lata ini sebetulnya terdapat dalam Pasal 7 ayat (3) Criminal Code of Yugoslavia, yaitu :
Culpa lata disadari; bila mana pembuat delik menyadari bahwa dari tindakannya dapat mewujudkan suatu akibat yangdilarang oleh undang-undang, tetapi dia beranggapan secara keliru bahwa akibat itu tidak akan terjadi atau ia mampuuntuk mencegahnya;
Culpa lata tak disadari; bilamana pembuat delik tidak menyadari kemungkinan akan terwujudnya akibat, sedangkan didalam keadaan ia berbuat oleh karena kualitas pribadinya ia seharusnya dan dapat menyadari kemungkinan itu.
Dalam Buku II KUHP terdapat beberapa pasal yang memuat delik-delik culpa, contoh :
(1). Pasal 188 KUHP : karena kealpaan menimbulkan letusan, kebakaran.
(2). Pasal 231 KUHP : karena kealpaan sipenyimpan menyebabkan hilangnya barang yang disita;
(3). Pasal 359 KUHP : karena kelalaian mengakibatkan matinya orang;
(4). Pasal 360 KUHP : karena kelalaian menyebabkan orang luka berat;
(5). Pasal 409 KUHP : karena kealpaan mengakibatkan alat-alat perlengkapan jalan kereta api hancur.

B.3. Tidak Ada Dasar Pemaaf (schulduitsluitingsgrond)
Dasar pemaaf menjadi bagian penting dari pertanggungjawaban pidana, oleh karena itu harus dipertimbangkan dalam menentukan kesalahan pelaku (pembuat delik). Sebab dasar pemaaf adalah dasar yang menghilangkan kesalahan pembuat delik, sehingga pembuat delik menjadi tidak dapat dipidana. Dasar pemaaf dalam KUHP diatur dalam Buku I Bab III dengan judul Bab (title) Hal-hal yang Menghapuskan, Mengurangi atau Memberatkan Pidana
Dasar pemaaf yaitu unsur-unsur delik memang sudah terbukti namun unsur kesalahantak ada pada pembuat, jadi terdakwanya dilepaskan dari segala tuntutan hukum. Termasuk dasar pemaaf adalah :
(1). Daya Paksa Mutlak (vis absoluta); Pasal 48 KUHP
(2). Pembelaan terpaksa yang melampaui batas; Pasal 49 ayat (2) KUHP;
(3). Perintah jabatan yang tidak sah; Pasal 51 ayat (2) KUHP;
(4). Perbuatan yang dilakukan oleh orang yang cacad jiwa dalampertumbuhan, atau terganggu karena penyakit; Pasal 44 KUHP.
3.1 Daya Paksa Mutlak (Vis Absoluta)
Daya paksa mutlak termasuk didalam Dasar Pemaaf, seperti yang dimaksud dalam Pasal 48 KUHP yang menegaskan bahwa “Tidak dipidana seseorang yang melakukan perbuatan yang didorong oleh daya paksa”. Bentuk daya paksa ini dpata disebabkan oleh kekuatan manusia atau alam. Jadi dalam pengertian bahwa pembuat tidak dapat berbuat lain, pembuat tidak dapat melawan, tak dapat mengadakan pilihan selain dari pada berbuat demikian. Contoh seseorang yang dihipnotis lalu tak sadar lari tanpa bisan didepan umum, orang ini tidak dapat dipidana melanggar Pasal 281 KUHP. Contoh lain seorang ditangkap oleh orang yang kuat, lalu dilemparkan keluar jendela kaca, sehingga kaca jendela orang lain pecah, maka orang yang dilempar iti tidak dapat dipidana melanggar Paal 406 KUHP.
3.2 Pembelaan Terpaksa (Darurat) Melampaui Batas
Pasal 49 ayat (1) menegaskan bahwa “Tidak dapat dipidana seseorang melakukan perbuatan yang terpaksa dilakukan untuk membela dirinya sendiri, atau orang lain, membela peri kesopanan sendiri atau orang lain terhadap serangan yang melawan hukum yang mengancam langsung atau seketika itu juga” .
Perlu dicatat bahwa ada dua hal yang harus diperhatikan dalam pembelaan terpaksa (darurat) ini, yaitu : (a) ada serangan, (b) ada pembelaan yang perlu diadakan terhadap serangan itu. Patut diperhatikan juga bahwa tidak semua serangan masuk dalam kategori pembelaan yang dimaksud oleh pasal ini, kecuali :
a). Ada serangan itu seketika sifatnya;
b). Serangan itu langsung mengancam;
c). Serangan itu harus melawan hukum;
d). Serangan itu ditujukan pada badan, peri kesopanan, harta benda sendiri maupun orang lain.
Perbedaan pokok antara pembelaan darurat biasa (noodweer) pembelaan darurat yang melampaui batas (noodweerexces); Andi Zainal Abidin Farid (1995 : 200) terletak pada 3 (tiga) perbedaan berikut ini :
a). Pada noodweer, sifat melawan hukum perbuatan hilang, sedangkan pada noodweerexces perbuatan tetap melawan hukum, tetapi dasar sehingga tidak dapat dipidananya pembuat terletak pada keadaan khusus, dalam mana pembuat berada, disebabkan oleh karena serangan yang mengancam seketika.
b). Pada noodweer, sipenyerang tak boleh ditangani atau dipukuli lebih daripada maksud pembelaan yang perlu, sedangkan pada noodweerexces pembuat melampaui batas-batas pembelaan darurat oleh karena kegoncangan jiwa hebat;
c). Noodweer adalah suatu dasar pembenar, sedangkan noodweerexces merupakan dasar pemaaf (schuluitingsgrond).
3.3 Perintah Jabatan Tidak sah (tidak berwenang)
Pasal 51 ayat (2) KUHp menegaskan bahwa Perintah Jabatan tanpa wewenang, tidak menyebabkan hapusnya pidan kecuali jika yang diperintah dengan itikad baik mengira bahwa perintah diberikan dengan wewenang dan pelaksanaanya termasuk dalam lingkungan pekerjaannya.
Jadi syarat yang dimaksud oleh Pasal 51 ayat (2) KUHP adalah :
a). Jika pelaku mengira dengan itikad baik (jujur) bahwa perintah itu sah;
b). Perintah itu terletak dalam lingkungan wewenang dari orang yang diperintah.
3.4 Perbuatan yang dilakukan oleh orang yang cacad jiwa dalam pertumbuhan, atau terganggu karena penyakit.
Pasal 44 ayat (1) KUHP menegaskan bahwa “Barangsiapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungkan kepadanya karena jiwanya cacad dalam pertumbuhan, atau terganggu karena penyakit, tidak dipidana”.
Ketentuan Pasal 44 ayat (1)KUHP ini berkaitan erat dengan ketidakmampuan bertanggungjawab. Secara kualitatif Pompe (Zainal Abidin, 1995 : 190) membuat 3 (tiga) criteria kualitatif tentang kemampuan bertanggungjawab seperti dimaksud dalam Pasal 44 ayat (1) KUHP sebagai berikut :
a). Kemampuan berpikir (psychis) pembuat (dader) yang memungkinkan ia menguasai pikirannya yang memungkinkan ia menentukan perbuatannya;
b). Dan oleh sebab itu, ia dapat memahami makna dan akibat perbuatannya;
c). Dan oleh sebab itu, ia dapat menentukan kehendaknya sesuai dengan pendapatnya.
Ketidakmampuan bertanggungjawab dapat menghapus kesalahan terdakwa, dengan demikian dikategorikan sebagai dasar pemaaf dan bukan dasar pembenar.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar