Jumat, 18 November 2011


TUGAS TERSTRUKTUR
HUKUM KEPEGAWAIAN
SENGKETA KEPEGAWAIAN DAN PENYELESAIANNYA











DISUSUN OLEH :
IMAM SASTRA WARDHANA  (E1A006266)
Kelas : A


KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS  HUKUM
PURWOKERTO
2010





BAB I
PENDAHULUAN

Dalam rangka usaha untuk mencapai tujuan Nasional, diperlukan adanya PNS sebagai unsur Aparatur Negara, Abdi Negara, dan Abdi masyarakat yang penuh kesetiaan dan ketaatan kepada Pancasila, Undang-undang Dasar 1945, Negara, dan Pemerintah serta yang bersatu padu, bermental baik, berwibawa, berdaya guna, berhasil guna, bersih, bermutu tinggi, dan sadar akan tanggungjawabnya untuk menyelenggarakan tugas pemerintahan dan pembangunan. Maka untuk membina PNS yang demikian itu, antara lain diperlukan adanya Peraturan Disiplin yang memuat pokok- pokok kewajiban, larangan, dan sanksi apabila kewajiban tidak ditaati atau larangan dilanggar.
Dalam rangka usaha untuk mencapai tujuan Nasional, diperlukan adanya PNS sebagai unsure Aparatur Negara, Abdi Negara, dan Abdi masyarakat yang penuh kesetiaan dan ketaatan kepada Pancasila, Undang-undang Dasar 1945, Negara, dan Pemerintah serta yang bersatu padu, bermental baik, berwibawa, berdaya guna, berhasil guna, bersih, bermutu tinggi, dan sadar akan tanggungjawabnya untuk menyelenggarakan tugas pemerintahan dan pembangunan.
Maka untuk membina PNS yang demikian itu, antara lain diperlukan adanya Peraturan Disiplin yang memuat pokok-pokok kewajiban, larangan, dan sanksi apabila kewajiban tidak ditaati atau larangan dilanggar. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 telah diatur dengan jelas kewajiban yang harus ditaati dan larangan yang tidak boleh dilanggar oleh setiap PNS yang melakukan pelanggaran disiplin. Selain daripada itu dalam Peraturan Pemerintah itu diatur pula tentang tatacara pemeriksaan, tatacara penjatuhan dan penyampaian hukuman disiplin, serta tatacara pengajuan keberatan apabila PNS yang dijatuhi hukuman disiplin itu merasa keberatan atas hukuman disiplin yang dijatuhkan kepadanya. Tujuan hukuman disiplin itu sendiri adalah untuk memperbaiki dan mendidik PNS yang melakukan pelanggaran disiplin. Oleh sebab itu setiap pejabat yang berwenang menghukum wajib memeriksa lebih dahulu dengan seksama PNS yang melakukan pelanggaran itu.





BAB II
PEMBAHASAN

        Sengketa kepegawaian merupakan keadaan yang tidak dikehendaki oleh setiap PNS, tetapi harus diselesaikan sesuai dengan peraturan perundang undangan yang berlaku, sehingga yang bersangkutan memperoleh penyelesaian secara adil dan obyektif. Sengketa kepegawaian PNS dapat muncul dalam hal pengangkatan, kepangkatan, jabatan, pemindahan dan pemberhentian sebagai akibat keputusan dari pejabat pembina kepegawaian. Sengketa antara kedua belah pihak sulit untuk diselesaikan tanpa bantuan dari pihak ketiga, yaitu melalui lembaga peradilan yang tidak berpihak dan berat sebelah. Apabila satu pihak belum merasa puas atas keputusan dari pejabat yang berwenang menghukum, maka dapat mengajukan apabila belum memperoleh apa yang diharapkan, selanjutnya dapat menempuh jalan mengajukan keberatan kepada badan peradilan yang lebih tinggi, yaitu mengajukan keberatan melalui Bapek, Peradilan Tata Usaha Negara atau mengajukan Kasasi kepada Mahkamah Agung.

II. 1 Hukuman Disiplin
        Hukuman disiplin adalah hukuman yang dijatuhkan kepada PNS karena melanggar Peraturan Disiplin PNS. Adapun pengertian dari Peraturan Disiplin PNS adalah peraturan yang mengatur kewajiban, larangan, dan sanksi apabila kewajiban tidak ditaati atau larangan dilanggar oleh PNS. Sedangkan Pelangaran disiplin adalah setiap ucapan, tulisan, atau perbuatan PNS yang melanggar ketentuan Peraturan Disiplin PNS, baik yang dilakukan di dalam maupun di luar jam kerja.
II.1.1 Tujuan hukuman disiplin
Tujuan hukuman disiplin adalah untuk memperbaiki dan mendidik PNS yang melakukan pelanggaran disiplin PNS. Hukuman disiplin yang dijatuhkan harus setimpal dengan pelanggaran yang dilakukan, sehingga hukuman disiplin tersebut dapat diterima oleh rasa keadilan. Dalam menegakkan disiplin, hukuman disiplin adalah upaya terakhir apabila upaya pembinaan dengan cara lain sudah tidak dapat merubah perilaku seorang PNS yang tidak disiplin, karena itu setiap penindakan terhadap pelanggaran disiplin perlu dilandasi dengan prinsip:
  1. Adanya rasa keadilan, oleh karena itu sanksi yang dikenakan harus setimpal dengan kesalahan yang telah  dilakukan, dengan mempertimbangkan hal hal yang memberatkan dan meringankan.
  2. Sanksi harus bermanfaat untuk mendidik dan memperbaiki PNS yang dikenakan sanksi serta berdampak positif bagi pembinaan PNS di lingkungan kerjanya.
  3. Konsistensi, keputusan penindakan yang pernah diambil dalam suatu kasus, menjadi pedoman dalam penindakan dalam kasus yang sama.
  4. Adanya kepastian hukum, penindakan terhadap setiap pelanggaran harus di dasarkan pada ketentuan peraturan perundang undangan yang berlaku.
Dengan berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2003 tentang Wewenang Pengangkatan, Pemindahan dan Pemberhentian PNS, Gubernur/Bupati/Walikota berwenang memberhentikan PNS di lingkungannya. Namun dalam praktek, dengan kewenangan tersebut masih terdapat kekeliruan dalam proses menjatuhkan hukuman disiplin kepada PNS, sehingga dapat merugikan kepada PNS yang dijatuhi hukuman disiplin tersebut. Pada dasarnya penyelenggaraan pemerintahan harus selalu meletakkan pada prinsip berdasarkan peraturan perundang undangan yang berlaku. Segala bentuk keputusan dan tindakan harus berdasarkan hukum, tidak semata-mata berdasarkan kekuasaan yang melekat pada kedudukan atau jabatan. Setiap perbuatan pemerintahan harus bertumpu pada kewenangan yang sah. Oleh karena itu, kewenangan yang sah merupakan landasan bagi setiap pejabat pembina kepegawaian dalam menjalankan tugasnya.
        Kewenangan yang sah sebagai kewenangan atribut, kewenangan mandat atau kewenangan delegatif. Kewenangan atribut berasal dari adanya pembagian kekuasaan negara oleh Undang Undang Dasar 1945. Dalam kewenangan atribut pelaksanaannya dilakukan oleh pejabat yang secara tegas tercantum dalam peraturan dasarnya, yaitu melalui lembaga legeslatif, eksekutif dan yudikatif. Kewenangan tanggungjawab dan tanggunggugat berada pada pejabat tersebut. Kewenangan mandat merupakan proses atau prosedur pelimpahan wewenang dari pejabat/badan yang lebih tinggi kepada pejabat/badan yang lebih rendah. Kewenangan tersebut dapat dilihat dari adanya atas nama (a.n) atau untuk beliau (u.b) dalam setiap penetapan surat keputusan.  
        Kewenagan delegatif merupakan pelimpahan wewenang suatu organisasi pemerintah kepada organisasi lain dengan dasar peraturan perundang undangan. Kewenangan tanggungjawab dan tanggunggugat beralih kepada yang diberi limpahan wewenang. Suatu keputusan yang telah diproses secara formil maupun materiil harus memenuhi persyaratan pemenuhan azas umum pemerintahan yang baik. Sebagai pengaturan azas umum pemerintahan yang baik adalah berhubungan dengan alasan mengajukan keberatan atau gugatan apabila ternyata keputusan yang dikeluarkan dirasakan merugikan PNS. Azas umum pemerintahan yang baik dapat digunakan sebagai salah satu dasar dalam menilai atau menguji, apakah keputusan tersebut sudah dilakukan sesuai dengan peraturan perundang undangan yang berlaku, yaitu menyangkut wewenang, prosedur dan substansi, serta kesesuaian dengan pedoman yang tidak tertulis dalam penyelenggaraan pemerintahan yang baik.
II.1.2 Jenis-Jenis Hukuman Atau Sanksi Terhadap Pelanggaran Disiplin PNS
Pemerintah melalui Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil (PNS), memberikan pembinaan kepada PNS yang diarahkan untuk menjamin penyelenggaraan tugas pemerintahan dan pembangunan secara berdaya guna dan berhasil guna. Demikian juga sebaliknya, jika PNS di dalam melaksanakan tugas dan tanggungjawabnya melakukan pelanggaran dapat dijatuhi hukuman. Akibat dari penjatuhan hukuman tersebut dapat menimbulkan ketidakpuasan pada PNS yang bersangkutan dan tidak menutup kemungkinan memicu terjadinya sengketa kepegawaian.
Adapun jenis-jenis hukuman atau sanksi terhadap pelanggaran disiplin PNS (PP no 53 Tahun 2010) yaitu terdiri dari :
1.        Hukuman Ringan meliputi:
a.                             Teguran lisan;
b.                            Teguran tertulis; dan
c.                             Pernyataan tidak puas secara tertulis.
2.        Hukuman Sedang meliputi:
a.    Penundaan kenaikan gaji berkala untuk paling lama satu tahun;
b.    Penurunan gaji sebesar satu kali kenaikan gaji berkala untuk paling lama satu tahun; dan
c.    Penundaan kenaikan pangkat untuk paling lama satu tahun.
3.        Hukuman Berat meliputi:
a.    Penurunan pangkat pada pangkat yang setingkat lebih rendah untuk paling lama tiga tahun;
b.    Pemindahan dalam rangka penurunan jabatan setingkat lebih rendah
c.    Pembebasan dari jabatan;
d.   Pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri sebagai PNS; dan
e.    Pemberhentian dengan tidak hormat sebagai PNS.

Penjatuhan hukuman Disiplin :

a.    Jika terdapat beberapa pelanggaran disiplin, hanya dapat dijatuhi satu jenis hukuman disiplin (yang paling berat)
b.    Hukuman disiplin yg dijatuhkan, harus dipertimbangkan dengan seksama, sehingga setimpal dengan pelanggaran disiplin yang dilakukan dan dapat diterima oleh rasa keadilan
Prosedur Penjatuhan Hukuman Disiplin
a.       Panggilan, lisan atau tertulis
b.      Pemeriksaan, lisan atau tertulis, bisa didelegasikan
c.       Penjatuhan hukuman disiplin, (ingat tujuan hukuman disiplin dan faktor penyebab pelanggaran disiplin)
d.      Penyampaian hukuman disiplin, panggilan I & II, tidak hadir berarti menerima
e.       Penyampaian dilakukan sendiri oleh pejabat yang berwenang menghukum, dapat didelegasikan jika tempatnya jauh

II.2 Keberatan Atas Penjatuhan Hukuman Disiplin.
       Dalam penjatuhan hukuman disiplin yang dilakukan oleh pejabat pembina kepegawaian terhadap PNS yang melakukan pelanggaran disiplin tingkat berat, tidak selalu harus berjenjang mulai dari hukuman disiplin tingkat ringan, hukuman disiplin tingkat sedang, kemudian hukuman disiplin tingkat berat, tetapi dapat dilakukan dengan penjatuhan hukuman disiplin tingkat berat sesuai dengan jenis pelanggaran yang dilakukan. PNS yang dijatuhi salah satu jenis disiplin hukuman sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 ayat (2,3,dan 4) Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010, dapat mengajukan keberatan kepada atasan pejabat yang berwenang menghukum dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari terhitung mulai tanggal menerima keputusan hukuman disiplin.
       Adalakalanya pejabat yang berwenang menghukum keliru dalam menerapkan Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010, sehingga terbuka kesempatan untuk meninjau kembali. Penyelesaian sengketa kepegawaian melalui banding administrative dilakukan melalui Bapek sesuai dengan Keputusan Presiden Nomor 71 Tahun 1998. Upaya banding administrative merupakan prosedur yang hanya dapat di tempuh PNS yang dijatuhi hukuman disiplin pemberhentian.



II.2.1Melalui Bapek.
       Sesuai dengan Keputusan Presiden Nomor 71 Tahun 1998, salah satu tugas Bapek adalah memeriksa dan mengambil keputusan mengenai keberatan yang diajukan oleh PNS yang berpangkat Pembina golongan ruang IV/b ke bawah, tentang hukuman disiplin yang dijatuhkan kepadanya berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010, sepanjang mengenai hukuman disiplin pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri dan pemberhentian tidak dengan hormat sebagai PNS. Keanggotaan Bapek terdiri dari Menteri PAN sebagai ketua merangkap anggota, Badan Kepegawaian Negara sebagai sekretaris merangkap anggota, Menteri Sekretaris Negara sebagai anggota, Jaksa Agung sebagai anggota, Kepala Badan Intelijen Negara sebagai anggota, Direktur Hukum dan Perundang undangan Departemen Hukum dan HAM sebagai anggota, Ketua pengurus pusat Korpri sebagai anggota. Bapek melaksanakan sidang sekurang kurangnya satu kali dalam satu bulan. Bapek wajib menyelesaikan dan mengambil keputusan atas keberatan yang diajukan PNS selambat-lambatnya 6 (enam) bulan setelah tanggapan dan bahan kelengkapan diterima. Dalam hal tanggapan dan bahan yang diterima dari pejabat yang berwenang menghukum tidak dilaksanakan, Bapek dapat mengambil keputusan atas keberatan yang diajukan dari PNS yang bersangkutan.
Kelengkapan berkas pengajuan keberatan atas keputusan hukuman disiplin kepada Bapek harus dilampirkan:
1.    Permohonan dari PNS yang bersangkutan atau kuasa hukumnya.
2.    Tanggapan dari pejabat yang berwenang menghukum.
3.    Salinan sah keputusan hukuman disiplin.
4.    Salina sah BAP/LHP/Bahan pertimbangan lain yang diperlukan.
5.    Tanda terima surat keputusan hukuman disiplin.
Penyampaian Keberatan ke Bapek :
  1. Penyampaian keberatan, diajukan secara tertulis, jangka waktu 14 hari
  2. Pejabat yg berwenang menghukum membuat tanggapan, dan menyerahkan ke atasan pejabat yg berwenang menghukum dalam waktu 3 hari
  3. Atasan pejabat yang berwenang menghukum wajib mengambil keputusan dalam jangka waktu 1 (satu) bulan
  4. Atasan pejabat yang berwenang menghukum dapat memperkuat atau mengubah hukuman disiplin, keputusan tersebut tidak dapat diajukan keberatan.


Prosedur Keberatan ke Bapek :
  1. Keberatan diajukan dalam jangka waktu 14 hari, melebihi tidak dapat dipertimbangkan.
  2. Setiap pejabat yang menerima surat keberatan, dalam waktu 3 hari kerja menyampaikan ke BAPEK melalui saluran hirarki
  3. Pejabat yang berwenang menghukum membuat tanggapan tertulis dan dilampiri ; surat keberatan, BAP, SK Hukuman Disiplin. Menyampaikan ke BAPEK dalam jangka waktu 3 hari kerja.
  4. BAPEK mengambil keputusan dalam waktu yang sesingkat mungkin, Keputusan BAPEK mengikat dan wajib dilaksanakan
       Keputusan Bapek adalah mengikat dan wajib dilaksanakan oleh semua pihak yang bersangkutan. Namun upaya tersebut masih dapat dilakukan banding melalui mekanisme hukum dan perundang undangan yang berlaku, yaitu melalui Peradilan Tata Usaha Negara. Selama proses pengajuan keberatan kepada Bapek, maka yang bersangkutan masih berstatus PNS. Berdasarkan surat Kepala BAKN Nomor K.99-6/V.5-55 tanggal 30 Agustus 1988, ditegaskan bahwa PNS yang dijatuhi hukuman disiplin berupa pemberhentian sebagai PNS dan mengajukan keberatan kepada Bapek, gaji dan hak-hak kepegawaian yang bersangkutan masih harus tetap dibayarkan.

II.2.2 Penyelesaian Melalui Lembaga Peradilan
       Sesuai dengan Undang Undang Nomor 9 Tahun 2004 perubahan dari Undang Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, dinyatakan bahwa penyelesaian sengketa kepegawaian hanya dapat dilakukan terhadap orang perorang atau badan hukum yang berhubungan dengan masalah kepegawaian dalam ruang lingkup Tata Usaha Negara. Orang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu keputusan Tata Usaha Negara dapat mengajukan gugatan secara tertulis kepada pengadilan yang berwenang mengadili berisi tuntutan agar keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan itu dinyatakan batal atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi atau rehabilitasi.
       Peradilan Tata Usaha Negara dalam menyelesaikan, menetapkan dan memutus suatu perkara harus memegang prinsip “Perundang Undangan yang derajadnya lebih rendah harus tunduk kepada perundang undangan yang derajadnya lebih tinggi dan ketentuan hukum belakangan mengesampingkan ketentuan hukum terdahulu” berdasarkan azas ‘Lex a posteriori derogate, lex a priori”. Sebagai dasar kewenangan hakim Peradilan Tata Usaha Negara dalam menetapkan dan memutuskan perkara sengketa kepegawaian adalah pasal 14 Undang Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili sesuatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.

II.2.3 Putusan Pengadilan
        Hanya putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap yang dapat dilaksanakan. Putusan hakim memperoleh kekuatan hukum yang tetap, apabila tidak ada upaya hukum lain lagi yang masih dapat diterapkan. Apabila gugatan dikabulkan, maka dalam putusan pengadilan dapat ditetapkan kewajiban yang harus dilakukan oleh badan atau pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan keputusan, yaitu berupa pencabutan keputusan yang di sengketakan dengan menerbitkan keputusan yang baru. Kewajiban ini dapat disertai pembebanan ganti rugi, apabila putusan ini mengenai masalah kepegawaian, maka disamping kewajiban pembebanan ganti rugi juga disertai kewajiban melakukan rehabilitasi. Rehabilitasi ini merupakan pemulihan hak penggugat dalam kemampuan kedudukan, harkat dan martabatnya sebagai PNS seperti semula sebelum ada keputusan yang disengketakan. Dalam hal kepegawaian menyangkut suatu jabatan ternyata telah diisi oleh pejabat lain, maka yang bersangkutan dapat diangkat dalam jabatan lain yang setingkat dengan jabatan semula. Apabila hal itu tidak mungkin, maka yang bersangkutan akan diangkat kembali pada kesempatan pertama setelah ada formasi dalam jabatan yang setingkat atau dapat ditempuh ketentuan lain sesuai dengan peraturan perundang undangan yang berlaku di bidang kepegawaian. Selain itu undang undang ini juga mengatur upaya paksa terhadap putusan yang telah diputuskan, perintah membayar uang paksa, sanksi administrative dan pemberitahuan di media cetak setempat.
       Keputusan Tata Usaha Negara merupakan penetapan tertulis yang dilakukan oleh Negara atau pejabat yang berwenang, berisi tindakan hukum berdasarkan peraturan perundang undangan bersifat konkrit, individual dan final. Bersifat konkrit, artinya obyek yang diputuskan dalam keputusan Tata Usaha Negara tidak abstrak tetapi berujud dan dapat ditentukan. Seperti keputusan pemberhentian sebagai PNS, dapat dibuktikan dengan surat keputusan. Bersifat individual, artinya keputusan Tata Usaha Negara tidak ditujukan untuk umum, tetapi tiap tiap orang, badan atau lembaga. Bersifat final, artinya sudah difinitif dan karenanya dapat menimbulkan akibat hukum. Dalam waktu 4 (empat) bulan setelah putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum yang tetap dan tergugat tidak melaksanakan putusan pengadilan itu, maka keputusan Tata Usaha Negara yang di sengketakan secara otomatis atau dengan sendirinya tidak mempunyai kekuatan hukum lagi. Apabila kedua belah pihak tidak dapat menyetujui penetapan pengadilan, maka penggugat maupun tergugat dapat mengajukan kasasi kepada Mahkamah Agung untuk ditetapkan kembali, dan putusan Mahkamah Agung wajib ditaati oleh kedua belah pihak.

II.2.4 Pemeriksaan Tingkat Banding
       Putusan pengadilan Tata Usaha Negara yang tidak diterima oleh penggugat atau tergugat, oleh yang berkepentingan dapat di mintakan pemeriksaan banding. Permohonan banding diajukan secara tertulis oleh pemohon atau kuasanya kepada Peradilan Tata Usaha Negara yang menjatuhkan putusan tersebut dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari setelah putusan Pengadilan Tata Usaha Negara diberitahukan kepada pihak penggugat maupun tergugat secara sah. Pihak penggugat atau tergugat dapat menyerahkan memori banding dan atau kontra memori banding, dilengkapi dengan surat keterangan dan bukti bukti yang kuat. Jika salah satu pihak telah menyatakan menerima dengan baik putusan Pengadilan Tata Usaha Negara, maka tidak dapat mencabut kembali pernyataan itu walaupun jangka waktu untuk mengajukan banding belum terlampaui. Keputusan yang telah ditetapkan oleh Pengadilan Tata Usaha Negara dapat diajukan kasasi ke Mahkamah Agung.











BAB III
PENUTUP
III.1 Simpulan
Sengketa kepegawaian merupakan keadaan yang tidak dikehendaki oleh setiap PNS, tetapi harus diselesaikan sesuai dengan peraturan perundang undangan yang berlaku, sehingga yang bersangkutan memperoleh penyelesaian secara adil dan obyektif. Sengketa kepegawaian PNS dapat muncul dalam hal pengangkatan, kepangkatan, jabatan, pemindahan dan pemberhentian sebagai akibat keputusan dari pejabat pembina kepegawaian. Sengketa antara kedua belah pihak sulit untuk diselesaikan tanpa bantuan dari pihak ketiga, yaitu melalui lembaga peradilan yang tidak berpihak dan berat sebelah. Apabila satu pihak belum merasa puas atas keputusan dari pejabat yang berwenang menghukum, maka dapat mengajukan apabila belum memperoleh apa yang diharapkan, selanjutnya dapat menempuh jalan mengajukan keberatan kepada badan peradilan yang lebih tinggi, yaitu mengajukan keberatan melalui Bapek, Peradilan Tata Usaha Negara atau mengajukan Kasasi kepada Mahkamah Agung.
             Namun jika dikaji lebih mendalam terhadap penyelesaian sengketa kepegawaian, maka apabila upaya administratif (dalam hal ini Banding Administratif) telah ditempuh, selanjutnya diajukan gugatan langsung ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) bukan ke PTUN. Oleh karena dalam sengketa kepegawaian upaya yang tersedia hanya Banding Administratif kepada atasan Pejabat yang mengeluarkan keputusan atau Badan Pertimbangan Kepegawaian. Jadi dalam konteks ini, PTTUN adalah pengadilan tingkat pertama bukan tingkat banding. Perbedaan itu antara lain (Wiyono:2005:98-99):
1.        Dalam penyelesaian sengketa melalui upaya administratif, pemeriksaan yang dilakukan sifatnya menyeluruh, baik dari segi hukum (rechtmatigheid) maupun dari segi kebijaksanaannya (doelmatigheid). Sedangkan pemeriksaan yang dilakukan oleh Peradilan Tata Usaha Negara sifatnya tidak menyeluruh, tetapi hanya terbatas dari segi hukumnya (rechtmatigheid).
2.        Badan atau Pejabat atau Instansi yang memeriksa upaya administratif dapat mengganti, mengubah atau meniadakan atau dapat memerintahkan untuk mengganti atau merubah atau meniadakan keputusan yang menjadi obyek sengketa. Sedangkan Peradilan Tata Usaha Negara tidak dapat mengganti, mengubah atau meniadakan atau dapat memerintahkan untuk mengganti atau merubah atau meniadakan keputusan yang menjadi obyek sengketa. Namun hanya dapat menjatuhkan putusan bahwa Keputusan Tata Usaha Negara yang menjadi obyek sengketa tersebut “tidak sah” atau “batal” (Kursif Penulis).
3.        Pada waktu Badan atau Pejabat atau Instansi yang memeriksa upaya administratif menjatuhkan putusan terhadap sengketa tersebut dapat memperhatikan perubahan yang terjadi sesudah dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara yang mengakibatkan terjadinya sengketa tersebut. Sedangkan penyelesaian oleh Peradilan Tata Usaha Negara hanya memperhatikan keadaan yang terjadi pada waktu dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara yang menjadi obyek sengketa tersebut.
Pada saat akan mengajukan gugatan sengketa kepegawaian ke Peradilan Tata Usaha Negara (baik PTUN maupun PTTUN) ada hal-hal yang perlu diperhatikan:
a.    Tenggang waktu mengajukan gugatan.
Di dalam sengketa tata usaha negara tenggang waktu mengajukan gugatan ditentukan secara limitatif. Adapun tenggang waktu yang dimaksud adalah 90 hari sejak diterimanya atau diumumkannya Keputusan Tata Usaha Negara yang menjadi obyek sengketa. Dengan demikian, diambil kesimpulan bahwa tenggang waktu gugatan yang disediakan apabila tidak puas terhadap keputusan upaya administratif, maka dihitung sejak saat diterimanya keputusan dari Pejabat atau Instansi yang mengeluarkan keputusan (jika upaya administratif yang tersedia hanya Keberatan), atau sejak saat diterima keputusan dari Pejabat atasan atau instansi atasan atau instansi lain yang berwenang (jika upaya administratif hanya berupa banding administratif saja atau berupa Keberatan dan Banding Administratif).
b.    Gugatan harus ditujukan kepada pengadilan yang berwenang.
Dalam mengajukan gugatan harus dilakukan secara tertulis dan ditujukan kepada pengadilan yang berwenang. Pasal 54 Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 menentukan bahwa, “gugatan diajukan kepada pengadilan tempat kedudukan tergugat”. “Apabila tergugat lebih dari satu dan berkedudukan tidak dalam satu daerah hukum, maka gugatan diajukan kepada pengadilan tempat salah satu tergugat”. “Dalam hal tergugat tidak berada dalam daerah hukum pengadilan tempat kediaman penggugat, maka gugatan dapat diajukan kepada pengadilan tempat kediaman penggugat untuk selanjutnya diteruskan kepada pengadilan yang bersangkutan”.
c.    Di dalam sengketa kepegawaian, tuntutan gugatan terhadap Surat Keputusan Tata Usaha Negara yang menimbulkan terjadinya sengketa kepegawaian dapat berupa permohonan kepada pengadilan untuk menyatakan Keputusan tersebut tidak sah atau batal dan dapat disertai dengan tuntutan ganti kerugian dan/atau rehabilitasi.
d.   Apabila Putusan PTTUN masih tidak memberikan kepuasan kepada PNS yang bersangkutan, maka dalam jangka waktu paling lambat empat belas hari dapat mengajukan kasasi kepada Mahkamah Agung.

III.2 Saran
Dengan diberlakukannya ketentuan Pasal 116 Undang-Undang No. 9 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, maka eksekusi yang diatur dalam Pasal 116 Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tidak berlaku lagi. Sebagai pengganti dari lembaga eksekusi yang diatur dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1986, berdasarkan Pasal 116 Undang-Undang No. 9 Tahun 2004 dibentuk dua lembaga eksekusi yakni: (i) uang paksa (dwangsom), dan (ii) sanksi administratif. Disamping itu masih dapat pula diterapkan sanksi berupa “pengumuman” dalam media cetak terhadap pejabat yang enggan mematuhi putusan. Dalam tataran implementasi ternyata kedua lembaga tersebut banyak permasalahannya yakni menyangkut hal-hal sebagai berikut:
  • Belum adanya produk hukum yang mengatur tentang prosedur dan mekanisme cara pembayaran uang paksa maupun sanksi administratif;
  • Terhadap siapa uang paksa tersebut dibebankan, apakah pada keuangan pribadi pejabat yang tidak melaksanakan putusan atau terhadap keuangan instansi pejabat tata usaha negara;
  • Sanksi administratif apa yang dapat dijatuhkan kepada tergugat yang tidak melaksanakan putusan.
Oleh karena itu, sangat mendesak untuk dibuat aturan tentang hal-hal tersebut, karena praktis dengan tidak berlakunya tata cara eksekusi dengan penegoran berjenjang secara hierarkhis sebagaimana diatur Pasal 116 Undang-Undang No. 5 Tahun 1986. Ternyata lembaga eksekusi yang baru belum dapat diterapkan, sehingga berdampak pada seluruh putusan Pengadilan Tata Usaha Negara yang telah berkekuatan hukum tetap. Banyak putusan yang tidak dipatuhi oleh badan atau pejabat tata usaha negara, dalam arti tidak dapat dieksekusi. Keadaan ini tentunya akan sangat merugikan para pencari keadilan (yustisiabellen) yang telah dinyatakan sebagai pemenang atau gugatannya dikabulkan di Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Hadirnya produk hukum yang mengatur tentang prosedur dan mekanisme pembayaran uang paksa (dwangsom) dan sanksi administratif sudah tidak bisa ditawar-tawar lagi. Oleh karena diproyeksikan materi muatan yang diatur dalam peraturan pelaksanaan kedua lembaga paksa tersebut akan menyangkut dan melibatkan instansi/lembaga lain di luar jajaran Mahkamah Agung RI maka akan tepat apabila bentuk produk hukum dituangkan dalam bentuk peraturan pemerintah. Jadi, bukan PERMA atau SEMA. Pasal 116 Undang-Undang No. 9 Tahun 2004 sendiri ternyata tidak secara eksplisit menyatakan bahwa pelaksanaan lebih lanjut kedua lembaga eksekusi tersebut akan diatur dalam Peraturan Pemerintah. Akan tetapi hal tersebut jangan menjadi penghalang bagi Mahkamah Agung RI untuk mengusulkan Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Tata Cara Pelaksanaan dua lembaga paksa tadi kepada Presiden















DAFTAR PUSTAKA
Effendi, Lutfi. 2004. Pokok-Pokok Hukum Administrasi. Malang: Bayu Media.
Wiyono, R. 2005. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara.  Jakarta: Sinar Grafika,.
Peraturan Perundang Undangan
Indonesia, Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara, UU Nomor 5 Tahun 1986.
Indonesia, Undang-Undang tentang Pokok-Pokok Kepegawaian, UU Nomor 43 Tahun 1999.
Indonesia, Peraturan Pemerintah tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil, UU Nomor                         30.
Indonesia, Keputusan Presiden tentang Perubahan Keputusan Presiden Nomor 67 Tahun1980 tentang Badan Pertimbangan Kepegawaia, UU Nomor 71 Tahun 1998.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar