TUGAS
TERSTRUKTUR
HUKUM
KEPEGAWAIAN
SENGKETA KEPEGAWAIAN DAN
PENYELESAIANNYA
DISUSUN OLEH :
IMAM SASTRA WARDHANA (E1A006266)
Kelas : A
KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS HUKUM
PURWOKERTO
2010
BAB I
PENDAHULUAN
Dalam rangka usaha untuk mencapai
tujuan Nasional, diperlukan adanya PNS sebagai unsur Aparatur Negara, Abdi
Negara, dan Abdi masyarakat yang penuh kesetiaan dan ketaatan kepada Pancasila,
Undang-undang Dasar 1945, Negara, dan Pemerintah serta yang bersatu padu,
bermental baik, berwibawa, berdaya guna, berhasil guna, bersih, bermutu tinggi,
dan sadar akan tanggungjawabnya untuk menyelenggarakan tugas pemerintahan dan
pembangunan. Maka untuk membina PNS yang demikian itu, antara lain diperlukan
adanya Peraturan Disiplin yang memuat pokok- pokok kewajiban, larangan, dan
sanksi apabila kewajiban tidak ditaati atau larangan dilanggar.
Dalam rangka usaha untuk mencapai
tujuan Nasional, diperlukan adanya PNS sebagai unsure Aparatur Negara, Abdi
Negara, dan Abdi masyarakat yang penuh kesetiaan dan ketaatan kepada Pancasila,
Undang-undang Dasar 1945, Negara, dan Pemerintah serta yang bersatu padu,
bermental baik, berwibawa, berdaya guna, berhasil guna, bersih, bermutu tinggi,
dan sadar akan tanggungjawabnya untuk menyelenggarakan tugas pemerintahan dan
pembangunan.
Maka untuk membina PNS yang demikian
itu, antara lain diperlukan adanya Peraturan Disiplin yang memuat pokok-pokok
kewajiban, larangan, dan sanksi apabila kewajiban tidak ditaati atau larangan
dilanggar. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 telah diatur dengan
jelas kewajiban yang harus ditaati dan larangan yang tidak boleh dilanggar oleh
setiap PNS yang melakukan pelanggaran disiplin. Selain daripada itu dalam
Peraturan Pemerintah itu diatur pula tentang tatacara pemeriksaan, tatacara
penjatuhan dan penyampaian hukuman disiplin, serta tatacara pengajuan keberatan
apabila PNS yang dijatuhi hukuman disiplin itu merasa keberatan atas hukuman
disiplin yang dijatuhkan kepadanya. Tujuan hukuman disiplin itu sendiri adalah
untuk memperbaiki dan mendidik PNS yang melakukan pelanggaran disiplin. Oleh
sebab itu setiap pejabat yang berwenang menghukum wajib memeriksa lebih dahulu
dengan seksama PNS yang melakukan pelanggaran itu.
BAB II
PEMBAHASAN
Sengketa kepegawaian merupakan keadaan yang tidak dikehendaki oleh setiap PNS, tetapi harus diselesaikan sesuai dengan peraturan perundang undangan yang berlaku, sehingga yang bersangkutan memperoleh penyelesaian secara adil dan obyektif. Sengketa kepegawaian PNS dapat muncul dalam hal pengangkatan, kepangkatan, jabatan, pemindahan dan pemberhentian sebagai akibat keputusan dari pejabat pembina kepegawaian. Sengketa antara kedua belah pihak sulit untuk diselesaikan tanpa bantuan dari pihak ketiga, yaitu melalui lembaga peradilan yang tidak berpihak dan berat sebelah. Apabila satu pihak belum merasa puas atas keputusan dari pejabat yang berwenang menghukum, maka dapat mengajukan apabila belum memperoleh apa yang diharapkan, selanjutnya dapat menempuh jalan mengajukan keberatan kepada badan peradilan yang lebih tinggi, yaitu mengajukan keberatan melalui Bapek, Peradilan Tata Usaha Negara atau mengajukan Kasasi kepada Mahkamah Agung.
II. 1
Hukuman Disiplin
Hukuman
disiplin adalah hukuman yang dijatuhkan kepada PNS karena melanggar Peraturan
Disiplin PNS. Adapun pengertian dari Peraturan Disiplin PNS
adalah peraturan yang mengatur kewajiban, larangan, dan sanksi apabila
kewajiban tidak ditaati atau larangan dilanggar oleh PNS. Sedangkan Pelangaran
disiplin adalah setiap ucapan, tulisan, atau perbuatan PNS yang melanggar
ketentuan Peraturan Disiplin PNS, baik yang dilakukan di dalam maupun di luar
jam kerja.
II.1.1 Tujuan hukuman
disiplin
Tujuan
hukuman disiplin adalah untuk memperbaiki dan mendidik PNS yang melakukan
pelanggaran disiplin PNS. Hukuman disiplin yang dijatuhkan harus setimpal
dengan pelanggaran yang dilakukan, sehingga hukuman disiplin tersebut dapat
diterima oleh rasa keadilan. Dalam menegakkan disiplin, hukuman disiplin adalah
upaya terakhir apabila upaya pembinaan dengan cara lain sudah tidak dapat
merubah perilaku seorang PNS yang tidak disiplin, karena itu setiap penindakan
terhadap pelanggaran disiplin perlu dilandasi dengan prinsip:
- Adanya rasa keadilan, oleh karena itu sanksi yang dikenakan harus setimpal dengan kesalahan yang telah dilakukan, dengan mempertimbangkan hal hal yang memberatkan dan meringankan.
- Sanksi harus bermanfaat untuk mendidik dan memperbaiki PNS yang dikenakan sanksi serta berdampak positif bagi pembinaan PNS di lingkungan kerjanya.
- Konsistensi, keputusan penindakan yang pernah diambil dalam suatu kasus, menjadi pedoman dalam penindakan dalam kasus yang sama.
- Adanya kepastian hukum, penindakan terhadap setiap pelanggaran harus di dasarkan pada ketentuan peraturan perundang undangan yang berlaku.
Dengan berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2003 tentang
Wewenang Pengangkatan, Pemindahan dan Pemberhentian PNS,
Gubernur/Bupati/Walikota berwenang memberhentikan PNS di lingkungannya. Namun
dalam praktek, dengan kewenangan tersebut masih terdapat kekeliruan dalam
proses menjatuhkan hukuman disiplin kepada PNS, sehingga dapat merugikan kepada
PNS yang dijatuhi hukuman disiplin tersebut. Pada dasarnya penyelenggaraan
pemerintahan harus selalu meletakkan pada prinsip berdasarkan peraturan
perundang undangan yang berlaku. Segala bentuk keputusan dan tindakan harus
berdasarkan hukum, tidak semata-mata berdasarkan kekuasaan yang melekat pada
kedudukan atau jabatan. Setiap perbuatan pemerintahan harus bertumpu pada
kewenangan yang sah. Oleh karena itu, kewenangan yang sah merupakan landasan
bagi setiap pejabat pembina kepegawaian dalam menjalankan tugasnya.
Kewenangan yang sah sebagai
kewenangan atribut, kewenangan mandat atau kewenangan delegatif. Kewenangan
atribut berasal dari adanya pembagian kekuasaan negara oleh Undang Undang Dasar
1945. Dalam kewenangan atribut pelaksanaannya dilakukan oleh pejabat yang
secara tegas tercantum dalam peraturan dasarnya, yaitu melalui lembaga
legeslatif, eksekutif dan yudikatif. Kewenangan tanggungjawab dan tanggunggugat
berada pada pejabat tersebut. Kewenangan mandat merupakan proses atau prosedur
pelimpahan wewenang dari pejabat/badan yang lebih tinggi kepada pejabat/badan
yang lebih rendah. Kewenangan tersebut dapat dilihat dari adanya atas nama
(a.n) atau untuk beliau (u.b) dalam setiap penetapan surat keputusan.
Kewenagan delegatif
merupakan pelimpahan wewenang suatu organisasi pemerintah kepada organisasi
lain dengan dasar peraturan perundang undangan. Kewenangan tanggungjawab dan
tanggunggugat beralih kepada yang diberi limpahan wewenang. Suatu keputusan
yang telah diproses secara formil maupun materiil harus memenuhi persyaratan
pemenuhan azas umum pemerintahan yang baik. Sebagai pengaturan azas umum
pemerintahan yang baik adalah berhubungan dengan alasan mengajukan keberatan
atau gugatan apabila ternyata keputusan yang dikeluarkan dirasakan merugikan
PNS. Azas umum pemerintahan yang baik dapat digunakan sebagai salah satu dasar
dalam menilai atau menguji, apakah keputusan tersebut sudah dilakukan sesuai
dengan peraturan perundang undangan yang berlaku, yaitu menyangkut wewenang,
prosedur dan substansi, serta kesesuaian dengan pedoman yang tidak tertulis
dalam penyelenggaraan pemerintahan yang baik.
II.1.2 Jenis-Jenis Hukuman Atau Sanksi Terhadap Pelanggaran
Disiplin PNS
Pemerintah melalui Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010
tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil (PNS), memberikan pembinaan
kepada PNS yang diarahkan untuk menjamin penyelenggaraan tugas pemerintahan dan
pembangunan secara berdaya guna dan berhasil guna. Demikian juga sebaliknya,
jika PNS di dalam melaksanakan tugas dan tanggungjawabnya melakukan pelanggaran
dapat dijatuhi hukuman. Akibat dari penjatuhan hukuman tersebut dapat
menimbulkan ketidakpuasan pada PNS yang bersangkutan dan tidak menutup
kemungkinan memicu terjadinya sengketa kepegawaian.
Adapun
jenis-jenis hukuman atau sanksi terhadap pelanggaran disiplin PNS (PP no 53
Tahun 2010) yaitu terdiri dari :
1.
Hukuman Ringan meliputi:
a.
Teguran lisan;
b.
Teguran tertulis; dan
c.
Pernyataan tidak puas secara tertulis.
2.
Hukuman Sedang meliputi:
a. Penundaan
kenaikan gaji berkala untuk paling lama satu tahun;
b.
Penurunan gaji sebesar satu kali kenaikan gaji berkala
untuk paling lama satu tahun; dan
c. Penundaan
kenaikan pangkat untuk paling lama satu tahun.
3.
Hukuman Berat meliputi:
a. Penurunan
pangkat pada pangkat yang setingkat lebih rendah untuk paling lama tiga tahun;
b. Pemindahan
dalam rangka penurunan jabatan setingkat lebih rendah
c.
Pembebasan dari jabatan;
d.
Pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan
sendiri sebagai PNS; dan
e.
Pemberhentian dengan tidak hormat sebagai PNS.
Penjatuhan hukuman Disiplin :
a. Jika
terdapat beberapa pelanggaran disiplin, hanya dapat dijatuhi satu jenis hukuman
disiplin (yang paling berat)
b. Hukuman
disiplin yg dijatuhkan, harus dipertimbangkan dengan seksama, sehingga setimpal
dengan pelanggaran disiplin yang dilakukan dan dapat diterima oleh rasa
keadilan
Prosedur Penjatuhan Hukuman
Disiplin
a. Panggilan,
lisan atau tertulis
b. Pemeriksaan,
lisan atau tertulis, bisa didelegasikan
c. Penjatuhan
hukuman disiplin, (ingat tujuan hukuman disiplin dan faktor penyebab
pelanggaran disiplin)
d. Penyampaian
hukuman disiplin, panggilan I & II, tidak hadir berarti menerima
e. Penyampaian
dilakukan sendiri oleh pejabat yang berwenang menghukum, dapat didelegasikan
jika tempatnya jauh
II.2 Keberatan Atas Penjatuhan Hukuman Disiplin.
Dalam penjatuhan hukuman
disiplin yang dilakukan oleh pejabat pembina kepegawaian terhadap PNS yang
melakukan pelanggaran disiplin tingkat berat, tidak selalu harus berjenjang
mulai dari hukuman disiplin tingkat ringan, hukuman disiplin tingkat sedang,
kemudian hukuman disiplin tingkat berat, tetapi dapat dilakukan dengan
penjatuhan hukuman disiplin tingkat berat sesuai dengan jenis pelanggaran yang
dilakukan. PNS yang dijatuhi salah satu jenis disiplin hukuman sebagaimana
dimaksud dalam pasal 7 ayat (2,3,dan 4) Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun
2010, dapat mengajukan keberatan kepada atasan pejabat yang berwenang menghukum
dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari terhitung mulai tanggal menerima
keputusan hukuman disiplin.
Adalakalanya pejabat yang
berwenang menghukum keliru dalam menerapkan Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun
2010, sehingga terbuka kesempatan untuk meninjau kembali. Penyelesaian sengketa
kepegawaian melalui banding administrative dilakukan melalui Bapek sesuai
dengan Keputusan Presiden Nomor 71 Tahun 1998. Upaya banding administrative
merupakan prosedur yang hanya dapat di tempuh PNS yang dijatuhi hukuman
disiplin pemberhentian.
II.2.1Melalui Bapek.
Sesuai dengan Keputusan
Presiden Nomor 71 Tahun 1998, salah satu tugas Bapek adalah memeriksa dan
mengambil keputusan mengenai keberatan yang diajukan oleh PNS yang berpangkat
Pembina golongan ruang IV/b ke bawah, tentang hukuman disiplin yang dijatuhkan
kepadanya berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010, sepanjang
mengenai hukuman disiplin pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan
sendiri dan pemberhentian tidak dengan hormat sebagai PNS. Keanggotaan Bapek
terdiri dari Menteri PAN sebagai ketua merangkap anggota, Badan Kepegawaian
Negara sebagai sekretaris merangkap anggota, Menteri Sekretaris Negara sebagai
anggota, Jaksa Agung sebagai anggota, Kepala Badan Intelijen Negara sebagai
anggota, Direktur Hukum dan Perundang undangan Departemen Hukum dan HAM sebagai
anggota, Ketua pengurus pusat Korpri sebagai anggota. Bapek melaksanakan sidang
sekurang kurangnya satu kali dalam satu bulan. Bapek wajib menyelesaikan dan
mengambil keputusan atas keberatan yang diajukan PNS selambat-lambatnya 6
(enam) bulan setelah tanggapan dan bahan kelengkapan diterima. Dalam hal
tanggapan dan bahan yang diterima dari pejabat yang berwenang menghukum tidak
dilaksanakan, Bapek dapat mengambil keputusan atas keberatan yang diajukan dari
PNS yang bersangkutan.
Kelengkapan berkas pengajuan keberatan atas keputusan hukuman disiplin kepada
Bapek harus dilampirkan:
1.
Permohonan dari PNS yang
bersangkutan atau kuasa hukumnya.
2.
Tanggapan dari pejabat yang
berwenang menghukum.
3.
Salinan sah keputusan
hukuman disiplin.
4.
Salina sah BAP/LHP/Bahan
pertimbangan lain yang diperlukan.
5.
Tanda terima surat keputusan
hukuman disiplin.
Penyampaian Keberatan ke
Bapek :
- Penyampaian keberatan, diajukan secara tertulis, jangka waktu 14 hari
- Pejabat yg berwenang menghukum membuat tanggapan, dan menyerahkan ke atasan pejabat yg berwenang menghukum dalam waktu 3 hari
- Atasan pejabat yang berwenang menghukum wajib mengambil keputusan dalam jangka waktu 1 (satu) bulan
- Atasan pejabat yang berwenang menghukum dapat memperkuat atau mengubah hukuman disiplin, keputusan tersebut tidak dapat diajukan keberatan.
Prosedur Keberatan ke Bapek :
- Keberatan diajukan dalam jangka waktu 14 hari, melebihi tidak dapat dipertimbangkan.
- Setiap pejabat yang menerima surat keberatan, dalam waktu 3 hari kerja menyampaikan ke BAPEK melalui saluran hirarki
- Pejabat yang berwenang menghukum membuat tanggapan tertulis dan dilampiri ; surat keberatan, BAP, SK Hukuman Disiplin. Menyampaikan ke BAPEK dalam jangka waktu 3 hari kerja.
- BAPEK mengambil keputusan dalam waktu yang sesingkat mungkin, Keputusan BAPEK mengikat dan wajib dilaksanakan
Keputusan Bapek adalah
mengikat dan wajib dilaksanakan oleh semua pihak yang bersangkutan. Namun upaya
tersebut masih dapat dilakukan banding melalui mekanisme hukum dan perundang
undangan yang berlaku, yaitu melalui Peradilan Tata Usaha Negara. Selama proses
pengajuan keberatan kepada Bapek, maka yang bersangkutan masih berstatus PNS.
Berdasarkan surat Kepala BAKN Nomor K.99-6/V.5-55 tanggal 30 Agustus 1988,
ditegaskan bahwa PNS yang dijatuhi hukuman disiplin berupa pemberhentian
sebagai PNS dan mengajukan keberatan kepada Bapek, gaji dan hak-hak kepegawaian
yang bersangkutan masih harus tetap dibayarkan.
II.2.2 Penyelesaian Melalui Lembaga Peradilan
Sesuai dengan Undang Undang
Nomor 9 Tahun 2004 perubahan dari Undang Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan
Tata Usaha Negara, dinyatakan bahwa penyelesaian sengketa kepegawaian hanya
dapat dilakukan terhadap orang perorang atau badan hukum yang berhubungan
dengan masalah kepegawaian dalam ruang lingkup Tata Usaha Negara. Orang atau
badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu keputusan
Tata Usaha Negara dapat mengajukan gugatan secara tertulis kepada pengadilan
yang berwenang mengadili berisi tuntutan agar keputusan Tata Usaha Negara yang
disengketakan itu dinyatakan batal atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai
tuntutan ganti rugi atau rehabilitasi.
Peradilan Tata Usaha Negara
dalam menyelesaikan, menetapkan dan memutus suatu perkara harus memegang
prinsip “Perundang Undangan yang derajadnya lebih rendah harus tunduk kepada perundang
undangan yang derajadnya lebih tinggi dan ketentuan hukum belakangan
mengesampingkan ketentuan hukum terdahulu” berdasarkan azas ‘Lex a posteriori
derogate, lex a priori”. Sebagai dasar kewenangan hakim Peradilan Tata Usaha
Negara dalam menetapkan dan memutuskan perkara sengketa kepegawaian adalah
pasal 14 Undang Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman,
Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili sesuatu perkara
yang diajukan dengan dalih bahwa tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib
untuk memeriksa dan mengadilinya.
II.2.3 Putusan Pengadilan
Hanya putusan pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap yang dapat dilaksanakan. Putusan
hakim memperoleh kekuatan hukum yang tetap, apabila tidak ada upaya hukum lain
lagi yang masih dapat diterapkan. Apabila gugatan dikabulkan, maka dalam
putusan pengadilan dapat ditetapkan kewajiban yang harus dilakukan oleh badan
atau pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan keputusan, yaitu berupa
pencabutan keputusan yang di sengketakan dengan menerbitkan keputusan yang
baru. Kewajiban ini dapat disertai pembebanan ganti rugi, apabila putusan ini
mengenai masalah kepegawaian, maka disamping kewajiban pembebanan ganti rugi
juga disertai kewajiban melakukan rehabilitasi. Rehabilitasi ini merupakan
pemulihan hak penggugat dalam kemampuan kedudukan, harkat dan martabatnya
sebagai PNS seperti semula sebelum ada keputusan yang disengketakan. Dalam hal
kepegawaian menyangkut suatu jabatan ternyata telah diisi oleh pejabat lain,
maka yang bersangkutan dapat diangkat dalam jabatan lain yang setingkat dengan
jabatan semula. Apabila hal itu tidak mungkin, maka yang bersangkutan akan
diangkat kembali pada kesempatan pertama setelah ada formasi dalam jabatan yang
setingkat atau dapat ditempuh ketentuan lain sesuai dengan peraturan perundang
undangan yang berlaku di bidang kepegawaian. Selain itu undang undang ini juga
mengatur upaya paksa terhadap putusan yang telah diputuskan, perintah membayar
uang paksa, sanksi administrative dan pemberitahuan di media cetak setempat.
Keputusan Tata Usaha Negara
merupakan penetapan tertulis yang dilakukan oleh Negara atau pejabat yang
berwenang, berisi tindakan hukum berdasarkan peraturan perundang undangan
bersifat konkrit, individual dan final. Bersifat konkrit, artinya obyek yang
diputuskan dalam keputusan Tata Usaha Negara tidak abstrak tetapi berujud dan
dapat ditentukan. Seperti keputusan pemberhentian sebagai PNS, dapat dibuktikan
dengan surat keputusan. Bersifat individual, artinya keputusan Tata Usaha
Negara tidak ditujukan untuk umum, tetapi tiap tiap orang, badan atau lembaga.
Bersifat final, artinya sudah difinitif dan karenanya dapat menimbulkan akibat
hukum. Dalam waktu 4 (empat) bulan setelah putusan pengadilan memperoleh
kekuatan hukum yang tetap dan tergugat tidak melaksanakan putusan pengadilan
itu, maka keputusan Tata Usaha Negara yang di sengketakan secara otomatis atau
dengan sendirinya tidak mempunyai kekuatan hukum lagi. Apabila kedua belah
pihak tidak dapat menyetujui penetapan pengadilan, maka penggugat maupun
tergugat dapat mengajukan kasasi kepada Mahkamah Agung untuk ditetapkan
kembali, dan putusan Mahkamah Agung wajib ditaati oleh kedua belah pihak.
II.2.4 Pemeriksaan Tingkat Banding
Putusan pengadilan Tata Usaha
Negara yang tidak diterima oleh penggugat atau tergugat, oleh yang
berkepentingan dapat di mintakan pemeriksaan banding. Permohonan banding
diajukan secara tertulis oleh pemohon atau kuasanya kepada Peradilan Tata Usaha
Negara yang menjatuhkan putusan tersebut dalam tenggang waktu 14 (empat belas)
hari setelah putusan Pengadilan Tata Usaha Negara diberitahukan kepada pihak
penggugat maupun tergugat secara sah. Pihak penggugat atau tergugat dapat
menyerahkan memori banding dan atau kontra memori banding, dilengkapi dengan
surat keterangan dan bukti bukti yang kuat. Jika salah satu pihak telah
menyatakan menerima dengan baik putusan Pengadilan Tata Usaha Negara, maka
tidak dapat mencabut kembali pernyataan itu walaupun jangka waktu untuk
mengajukan banding belum terlampaui. Keputusan yang telah ditetapkan oleh
Pengadilan Tata Usaha Negara dapat diajukan kasasi ke Mahkamah Agung.
BAB III
PENUTUP
III.1 Simpulan
Sengketa kepegawaian merupakan keadaan yang tidak dikehendaki oleh setiap
PNS, tetapi harus diselesaikan sesuai dengan peraturan perundang undangan yang
berlaku, sehingga yang bersangkutan memperoleh penyelesaian secara adil dan
obyektif. Sengketa kepegawaian PNS dapat muncul dalam hal pengangkatan,
kepangkatan, jabatan, pemindahan dan pemberhentian sebagai akibat keputusan
dari pejabat pembina kepegawaian. Sengketa antara kedua belah pihak sulit untuk
diselesaikan tanpa bantuan dari pihak ketiga, yaitu melalui lembaga peradilan
yang tidak berpihak dan berat sebelah. Apabila satu pihak belum merasa puas
atas keputusan dari pejabat yang berwenang menghukum, maka dapat mengajukan
apabila belum memperoleh apa yang diharapkan, selanjutnya dapat menempuh jalan
mengajukan keberatan kepada badan peradilan yang lebih tinggi, yaitu mengajukan
keberatan melalui Bapek, Peradilan Tata Usaha Negara atau mengajukan Kasasi
kepada Mahkamah Agung.
Namun jika dikaji lebih mendalam terhadap
penyelesaian sengketa kepegawaian, maka apabila upaya administratif (dalam hal
ini Banding Administratif) telah ditempuh, selanjutnya diajukan gugatan
langsung ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) bukan ke PTUN. Oleh
karena dalam sengketa kepegawaian upaya yang tersedia hanya Banding
Administratif kepada atasan Pejabat yang mengeluarkan keputusan atau Badan
Pertimbangan Kepegawaian. Jadi dalam konteks ini, PTTUN adalah pengadilan
tingkat pertama bukan tingkat banding. Perbedaan itu antara lain
(Wiyono:2005:98-99):
1.
Dalam penyelesaian sengketa melalui upaya
administratif, pemeriksaan yang dilakukan sifatnya menyeluruh, baik dari segi
hukum (rechtmatigheid) maupun dari segi kebijaksanaannya (doelmatigheid).
Sedangkan pemeriksaan yang dilakukan oleh Peradilan Tata Usaha Negara sifatnya
tidak menyeluruh, tetapi hanya terbatas dari segi hukumnya (rechtmatigheid).
2.
Badan atau Pejabat atau Instansi yang memeriksa upaya
administratif dapat mengganti, mengubah atau meniadakan atau dapat
memerintahkan untuk mengganti atau merubah atau meniadakan keputusan yang
menjadi obyek sengketa. Sedangkan Peradilan Tata Usaha Negara tidak dapat
mengganti, mengubah atau meniadakan atau dapat memerintahkan untuk mengganti
atau merubah atau meniadakan keputusan yang menjadi obyek sengketa. Namun hanya
dapat menjatuhkan putusan bahwa Keputusan Tata Usaha Negara yang menjadi obyek
sengketa tersebut “tidak sah” atau “batal” (Kursif Penulis).
3.
Pada waktu Badan atau Pejabat atau Instansi yang
memeriksa upaya administratif menjatuhkan putusan terhadap sengketa tersebut
dapat memperhatikan perubahan yang terjadi sesudah dikeluarkannya Keputusan
Tata Usaha Negara yang mengakibatkan terjadinya sengketa tersebut. Sedangkan
penyelesaian oleh Peradilan Tata Usaha Negara hanya memperhatikan keadaan yang
terjadi pada waktu dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara yang menjadi
obyek sengketa tersebut.
Pada saat akan mengajukan gugatan sengketa kepegawaian ke Peradilan Tata Usaha Negara (baik PTUN maupun PTTUN) ada hal-hal yang perlu diperhatikan:
Pada saat akan mengajukan gugatan sengketa kepegawaian ke Peradilan Tata Usaha Negara (baik PTUN maupun PTTUN) ada hal-hal yang perlu diperhatikan:
a.
Tenggang waktu mengajukan gugatan.
Di
dalam sengketa tata usaha negara tenggang waktu mengajukan gugatan ditentukan
secara limitatif. Adapun tenggang waktu yang dimaksud adalah 90 hari sejak
diterimanya atau diumumkannya Keputusan Tata Usaha Negara yang menjadi obyek
sengketa. Dengan demikian, diambil kesimpulan bahwa tenggang waktu gugatan yang
disediakan apabila tidak puas terhadap keputusan upaya administratif, maka
dihitung sejak saat diterimanya keputusan dari Pejabat atau Instansi yang
mengeluarkan keputusan (jika upaya administratif yang tersedia hanya
Keberatan), atau sejak saat diterima keputusan dari Pejabat atasan atau
instansi atasan atau instansi lain yang berwenang (jika upaya administratif
hanya berupa banding administratif saja atau berupa Keberatan dan Banding
Administratif).
b.
Gugatan harus ditujukan kepada pengadilan yang
berwenang.
Dalam mengajukan gugatan harus dilakukan secara tertulis dan ditujukan kepada pengadilan yang berwenang. Pasal 54 Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 menentukan bahwa, “gugatan diajukan kepada pengadilan tempat kedudukan tergugat”. “Apabila tergugat lebih dari satu dan berkedudukan tidak dalam satu daerah hukum, maka gugatan diajukan kepada pengadilan tempat salah satu tergugat”. “Dalam hal tergugat tidak berada dalam daerah hukum pengadilan tempat kediaman penggugat, maka gugatan dapat diajukan kepada pengadilan tempat kediaman penggugat untuk selanjutnya diteruskan kepada pengadilan yang bersangkutan”.
Dalam mengajukan gugatan harus dilakukan secara tertulis dan ditujukan kepada pengadilan yang berwenang. Pasal 54 Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 menentukan bahwa, “gugatan diajukan kepada pengadilan tempat kedudukan tergugat”. “Apabila tergugat lebih dari satu dan berkedudukan tidak dalam satu daerah hukum, maka gugatan diajukan kepada pengadilan tempat salah satu tergugat”. “Dalam hal tergugat tidak berada dalam daerah hukum pengadilan tempat kediaman penggugat, maka gugatan dapat diajukan kepada pengadilan tempat kediaman penggugat untuk selanjutnya diteruskan kepada pengadilan yang bersangkutan”.
c.
Di dalam sengketa kepegawaian, tuntutan gugatan
terhadap Surat Keputusan Tata Usaha Negara yang menimbulkan terjadinya sengketa
kepegawaian dapat berupa permohonan kepada pengadilan untuk menyatakan
Keputusan tersebut tidak sah atau batal dan dapat disertai dengan tuntutan
ganti kerugian dan/atau rehabilitasi.
d.
Apabila Putusan PTTUN masih tidak memberikan kepuasan
kepada PNS yang bersangkutan, maka dalam jangka waktu paling lambat empat belas
hari dapat mengajukan kasasi kepada Mahkamah Agung.
III.2 Saran
Dengan diberlakukannya ketentuan
Pasal 116 Undang-Undang No. 9 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang
No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, maka eksekusi yang diatur
dalam Pasal 116 Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tidak berlaku lagi. Sebagai
pengganti dari lembaga eksekusi yang diatur dalam Undang-Undang No. 5 Tahun
1986, berdasarkan Pasal 116 Undang-Undang No. 9 Tahun 2004 dibentuk dua lembaga
eksekusi yakni: (i) uang paksa (dwangsom), dan (ii) sanksi administratif.
Disamping itu masih dapat pula diterapkan sanksi berupa “pengumuman” dalam
media cetak terhadap pejabat yang enggan mematuhi putusan. Dalam tataran
implementasi ternyata kedua lembaga tersebut banyak permasalahannya yakni
menyangkut hal-hal sebagai berikut:
- Belum adanya produk hukum yang mengatur tentang prosedur dan mekanisme cara pembayaran uang paksa maupun sanksi administratif;
- Terhadap siapa uang paksa tersebut dibebankan, apakah pada keuangan pribadi pejabat yang tidak melaksanakan putusan atau terhadap keuangan instansi pejabat tata usaha negara;
- Sanksi administratif apa yang dapat dijatuhkan kepada tergugat yang tidak melaksanakan putusan.
Oleh karena itu, sangat mendesak
untuk dibuat aturan tentang hal-hal tersebut, karena praktis dengan tidak
berlakunya tata cara eksekusi dengan penegoran berjenjang secara hierarkhis
sebagaimana diatur Pasal 116 Undang-Undang No. 5 Tahun 1986. Ternyata lembaga
eksekusi yang baru belum dapat diterapkan, sehingga berdampak pada seluruh
putusan Pengadilan Tata Usaha Negara yang telah berkekuatan hukum tetap. Banyak
putusan yang tidak dipatuhi oleh badan atau pejabat tata usaha negara, dalam
arti tidak dapat dieksekusi. Keadaan ini tentunya akan sangat merugikan para
pencari keadilan (yustisiabellen) yang telah dinyatakan sebagai pemenang atau
gugatannya dikabulkan di Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Hadirnya produk hukum yang mengatur
tentang prosedur dan mekanisme pembayaran uang paksa (dwangsom) dan sanksi administratif
sudah tidak bisa ditawar-tawar lagi. Oleh karena diproyeksikan materi muatan
yang diatur dalam peraturan pelaksanaan kedua lembaga paksa tersebut akan
menyangkut dan melibatkan instansi/lembaga lain di luar jajaran Mahkamah Agung
RI maka akan tepat apabila bentuk produk hukum dituangkan dalam bentuk
peraturan pemerintah. Jadi, bukan PERMA atau SEMA. Pasal 116 Undang-Undang No.
9 Tahun 2004 sendiri ternyata tidak secara eksplisit menyatakan bahwa
pelaksanaan lebih lanjut kedua lembaga eksekusi tersebut akan diatur dalam
Peraturan Pemerintah. Akan tetapi hal tersebut jangan menjadi penghalang bagi
Mahkamah Agung RI untuk mengusulkan Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Tata
Cara Pelaksanaan dua lembaga paksa tadi kepada Presiden
DAFTAR PUSTAKA
Effendi, Lutfi. 2004. Pokok-Pokok Hukum Administrasi. Malang:
Bayu Media.
Wiyono, R. 2005. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. Jakarta: Sinar Grafika,.
Wiyono, R. 2005. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. Jakarta: Sinar Grafika,.
Peraturan Perundang Undangan
Indonesia,
Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara, UU Nomor 5 Tahun 1986.
Indonesia,
Undang-Undang tentang Pokok-Pokok Kepegawaian, UU Nomor 43 Tahun 1999.
Indonesia,
Peraturan Pemerintah tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil, UU Nomor 30.
Indonesia,
Keputusan Presiden tentang Perubahan Keputusan Presiden Nomor 67 Tahun1980
tentang Badan Pertimbangan Kepegawaia, UU Nomor 71 Tahun 1998.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar